Hal terakhir: Kematian

Ketika urusan kita di sini sudah selesai.

Jika kematian terlanjur mendatangiku, mau bagaimana lagi.

Tidak ada jalan kembali.

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah kami memohon umur terbaik kami ada di penghujungnya, amal terbaik kami ada di penutupnya, dan hari-hari terbaik kami saat bertemu denganMu. Agar Engkau jadikan kematian sebagai kebebasan kami dari segala keburukan, dan kebaikan menjadi warisan bagi yang kami tinggalkan.

Untuk mengawali tulisan ini sekaligus juga mengakhiri hal-hal yang telah saya sampaikan sebelumnya, marilah kita sama-sama mengakui dengan penuh kesadaran dan keyakinan bahwa; innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Mengingat sudah berapa orang yang kita kenal, yang sempat bertemu bersentuhan berbicara dengan kita, kemudian sekarang sudah pergi mendahului. Merenungkan bagaimana nanti nama kita yang diumumkan kepergiannya. Ketika tubuh tidak lagi bergerak, dimandikan, disholatkan dan didoakan oleh orang lain. Oleh wajah-wajah yang tidak akan dimintai pertanggung jawaban atas amal kita di dunia. Wajah yang mungkin kita masih meninggalkan dosa kepada mereka.

Cukuplah kematian sebagai nasehat.

Anugerah bagi seorang mukmin.

Kematian adalah gerbang awal kita menuju akhirat. Setiap yang bernyawa pasti akan mati meninggalkan dunia tempat mereka beramal. Dan hanya kita, sendirian menghadapi dahsyatnya sakaratul maut menuju alam kubur. Mendatangi dunia baru yang telah dikabarkan oleh orang-orang yang memberi peringatan. Urusan besar yang tidak boleh dilupakan, yang tidak bisa kita hindari ketika waktunya sudah tiba. Yang apabila mengingatnya, maka terputuslah segala kenikmatan.

Katakanlah bahwa kematian yang kalian lari darinya, sungguh akan datang menemui kalian.

Kita dianjurkan untuk senantiasa mengingat kematian dan memperpendek angan-angan, agar menjadi pendorong dalam bersiap-siap menyambut apa-apa yang datang setelahnya. Baik dengan beramal shalih maupun bertaubat, keduanya akan lebih mudah bagi orang yang senantiasa mengingat kematian. Sebaliknya, panjang angan-angan akan melalaikan kita dari amal shalih serta menjadikan taubat terasa begitu berat.

Orang yang merasa umurnya masih panjang/tidak mengingat bahwa kematian akan datang baik dalam waktu dekat maupun lambat, maka akhirat akan menjadi nomor sekian dari prioritas pekerjaannya sehari-hari1. Bukan karena meremehkan, namun memang lupa dan lalai akan datangnya hari perhitungan. Orang yang merasa masih akan hidup 10 bahkan 30 tahun lagi, secara naluri terdorong untuk menunda-nunda taubatnya. Menjauhi maksiat akan terasa berat karena membayangkan bahwa harus menahan diri, harus beristiqomah sampai berpuluh tahun lagi. Berbeda dengan orang yang beranggapan bahwa bisa saja nanti malam atau besok pagi dirinya sudah tidak ada, maka perjuangan untuk memerangi hawa nafsu tidaklah terbayang sebagai hal yang lama dan berat. Atau kemudian menyegerakan diri bertaubat dan menganggap bahwa bisa saja maksiat yang diperbuat tadi adalah yang terakhir sebelum malaikat maut menjemput.

Sangat mungkin bagi Allah menjadikan maksiat kita pada hari ini yang kita telah bertaubat darinya, adalah maksiat terakhir kita sebelum kematian itu datang.

Sangat mungkin bagi Allah menjadikan perbuatan maksiat yang kita tinggalkan, yang kita begitu payah menahan diri darinya, adalah perjuangan terakhir kita memerangi hawa nafsu sebelum kematian itu datang.

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, namun tidak semuanya bersiap untuk itu. Ada yang menyambutnya dengan penuh rasa takut, ada yang menyambutnya dengan penuh harap (akan rahmat Allah), ada juga yang rasa takut dan harapnya apabila ditimbang maka keduanya sama berat. Seperti halnya ibadah, rasa takut dan harap harus ada pada setiap kita dalam menyambut kematian serta apa yang datang setelahnya. Rasa takut tanpa disertai harapan akan melahirkan kebencian, sedangkan harapan tanpa disertai rasa takut akan melahirkan adab yang buruk. Menurut Imam Al Ghazali dalam Ihya; harapan lebih utama dibanding rasa takut, karena cinta didominasi oleh harapan atau optimisme, sedangkan rasa takut bisa mendorong kita untuk menjauh.

Orang tidak akan mulai menanam padi tanpa ada rasa optimis dalam dirinya bahwa kelak akan memanen, orang yang tidak memiliki harapan terhadap sesuatu maka hatinya tidak pernah condong ke arah sana. Para sufi melihat kematian sebagai jalan bertemu kekasih. Para shalih melihat kematian sebagai tahapan pintu surga. Para faqih melihat kematian sebagai akhir dari ujian di dunia berikut tipu dayanya. Rasa takut akan menjadikan mereka selalu berhati-hati, memupuk padi itu, menyiraminya, dan menjauhkannya dari hama yang dapat merusak apa yang telah mereka semai.

Kemudian rasa optimis tanpa ada sebab tercapainya, hanyalah ketertipuan. Kita akan melihat golongan yang mengatakan, “bukankah Allah maha pengampun dan rahmatNya begitu besar, yang mampu memasukkan kami ke surga meski tanpa sedikitpun amal shalih?”. Sungguh kunci surga adalah kalimat tauhid. Surga dan neraka kita adalah hak Allah. Namun meski demikian, Allah melalui nabi dan rosul telah memberi tahu kita jalan keselamatan dengan sangat-sangat jelas. Bagaimana orang yang tidak menanam namun menunggu waktu untuk memanen. Atau mengapa dengan sengaja menanam rumput teki jika memang berharap untuk menuai beras. Maka sudah menjadi “keteraturan” bahwa jalan keselamatan adalah dua yang tidak boleh putus satu; iman dan amal shalih. Yang jika salah satunya tidak ada maka ibarat ujian tes masuk, saya pribadi menyebutnya sebagai “nilai mati”. (membanggakan nilai TPA tinggi hingga soal TBI tidak dikerjakan, bagaimana?).

Namun tetap; kalimat tauhid tidaklah bisa dibandingkan dengan apapun. Seorang yang pada dirinya ada kalimat لَا إِلٰهَ إِلَّا الله maka surga adalah tempatnya kembali. Bukan bermaksud mendahului ketetapan Allah untuk surga dan neraka, namun saya katakan itu dengan yakin sebagai isyarat keimanan dalam hati akan betapa mulianya kalimat ini. Dan apabila kunci surga sudah dimiliki, maka memilih jalur memutar menuruni neraka terlebih dahulu adalah urusan masing-masing. Bukankah kita sudah mendengar berita tentang orang-orang yang ingkar kepada tuhannya, melalui kalam yang jelas dan kita yakini kebenarannya. Tentang seburuk-buruk tempat kembali. Ketika mereka dilempar kedalamnya, hingga terdengar suara yang mengerikan sementara tempat itu membara. Hampir meledak karena amarah. “Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu?”.

“Sekiranya dulu kami mendengarkan dan memikirkan peringatan itu, tentu lah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”.

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih”.

“Siapa pun yang akhir ucapannya kalimat La ilaha illallah maka surga untuknya”.

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?”. Mereka menjawab, “kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”.

Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam menyampaikan-yang kurang lebih maksudnya; “termasuk alamat, ciri seorang yang bersandar pada amal adalah berkurangnya harap setelah terjadi kesalahan-berbuat dosa atau blunder”. Dapat kita pahami bahwa kalimat tersebut ditujukan pada mereka yang “mengakui” amalnya sebagai penyelamat di akhirat. Orang yang setelah berbuat kesalahan kemudian menjadi pesimis, menandakan dia menyandarkan keselamatannya pada bentuk. Contoh mudah tentang bersandar adalah seperti seorang mahasiswa yang tertidur ditengah belajar menjelang ujian padahal belum semua materi dipahami, rasa pesimis untuk lulus adalah bukti kebersandarannya pada belajar. Semakin tinggi kebersandarannya terhadap suatu hal, semakin besar pula rasa pesimisnya apabila yang disandari telah rusak. Bahkan sampai pada posisi putus asa-dalam hal menyambut kematian-berputus asa dari rahmat Allah-yang kita berlindung darinya. Maka janganlah sandarkan dirimu pada sesuatu yang rapuh, dan segala bentuk adalah sesuatu yang rapuh-makhluk-karena sangat berpotensi untuk blunder, hilang, gagal, rusak dsb. Amal adalah bentuk.

Dosa2 kecil ini, kelak akan menjadi masalah besar bagiku ketika menghadap dzat yang maha adil maha perkasa. Namun tidak ada dosa yang besar dihadapan dzat yang maha agung maha pengampun. Maka kuhadapkan wajahku padaNya dari sisi rahmat. Dengan bertaubat.

Bersandar pada amal bukanlah maksiat, namun dalam hal keimanan dan kaitannya untuk keselamatan di akhirat, bersandar pada amal sangat berbahaya bagi kita. Bersandar pada amal adalah kedudukan paling rendah seorang mukmin. Makhluk pertama yang kita ketahui bersandar pada amal adalah iblis. Iblis melihat-mengakui ibadahanya kepada Allah selama ribuan tahun, sehingga tidak mau bersujud pada Adam yang belum memiliki track record amal sama sekali. Kebersandaraan pada amal menjadikan iblis tidak melihat siapa yang memberinya kemuliaan sehingga ditakdir untuk beribadah, iblis tidak melihat siapa yang memerintahkannya untuk bersujud pada Adam, kecondongan iblis hanya pada apa yang dia sandari-yang dia lihat-amalnya. Hingga dia melakukan kesalahan-durhaka kepada Allah-hanya kesalahan itu juga yang dilihatnya, sehingga menjadi makhluk yang putus asa dari rahmat Allah. Padahal sungguh Allah adalah dzat yang maha agung, maha pengampun maha pengasih lagi maha penyayang dan sungguh luas rahmatNya.

Orang yang bersandar pada Allah, berserah kepadaNya, akan menyambut kematian dengan penuh harap akan rahmatNya. Menunggu gilirannya tiba dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya karena harapan tanpa sebab tercapainya hanyalah ketertipuan. Orang yang bersandar pada rahmat Allah maka tidak akan sombong dalam beramal karena tahu bahwa itu adalah pemberian, dan tidak akan putus asa setalah berbuat dosa karena memang yang dilihat hanyalah Allah. Maka dapat kita temui orang-orang shalih, alim, abid-mereka hidup dan meninggal dengan keadaan tenang dan damai.

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka”.

Wallahualam bishowab.

Melalui tulisan ini saya ingin berpesan pada diri saya sendiri, dan siapa saja yang saya cintai. Bahwa kematian adalah sesuatu yang dekat, tidak bisa kita menghindar darinya. Mari mensyukuri dunia sebagai tempat menyaksikan kebesaran Allah dan beramal shalih karenaNya. Menghadapkan wajah ini pada Allah pencipta langit dan bumi serta segala yang terlihat, terdengar, dan kita rasakan. Secara hanif-sebagai muslim, dengan taat dan pasrah tanpa mempersekutukanNya bahkan dengan amal kita sendiri. Karena sungguh sholat ini, ibadah ini, hidup dan mati ini hanyalah milik Allah tuhan semesta alam yang memang tidak ada sekutu bagiNya. Dengan itulah ketaatanku diperintahkan dan aku berserah kepadaNya.

“Wahai orang-orang yang beriman, masukkan dirimu kedalam islam secara menyeluruh”.

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ


اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepadaMu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepadaMu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepadaMu yang akan menyampaikan Kami ke surgaMu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah dunia ini.
Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami,” (HR Tirmidzi).


1Ini adalah pengulangan dari bahasan sekularisme; bahwa beragama-termasuk beriorintasi pada akhirat, bukan berarti terbatas pada bentuk pekerjaannya saja. Namun lebih pada memposisikan diri sebagai hamba Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan. Sehingga melihat segala sesuatu-melihat dunia sebagai tempat untuk bersujud menyaksikan kebesaran tuhan, baik pada saat makan, bekerja, beristirahat dsb. selama hati ini masih disinari cahaya iman.

Hal kesepuluh: Ibnu Abdillah

Bismillahirahmanirrahim. Tentang sebaik-baik makhluk, junjungan yang manusia.

Ya Allah limpahkanlah Rahmat kepada Nabi Muhammad, putra sayyid Abdullah dan sayyidah Aminah.

Ya Allah sungguh telah datang kepada kami rahmat pertolonganMu melalui kekasihMu.

Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersholawat kepada nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu kepadanya, dan berikan salam dengan penuh penghormatan.

Rosulullah adalah sosok mulia hingga kisah hidup dan kepribadiannya sendiri adalah sebuah pujian. Sebenarnya tidak perlu kita repot-repot membuat kalimat pujian kepadanya, cukup ceritakan saja perjalanan hidupnya karena jalan hidup beliau sendiri sudah merupakan hal yang terpuji, begitulah kira-kira yang telah dilakukan oleh Imam Al Barzanji dan Imam Ad Dibai dalam kitabnya, semoga Allah merahmati mereka. Hingga untaian kalimat pujian yang indah akan muncul sendirinya sebagai isyarat dari hati yang sedang jatuh cinta.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya dalam Hal keenam: Cinta. Bahwa kodrat seorang pecinta adalah memberi, dan kita pahami bersama bahwa sebaik-baik yang bisa kita berikan kepada manusia adalah doa-harapan kebaikan dan ucapan keselamatan. Meskipun pemberian tersebut (baca: sholawat kita) tidak menambah kedudukan beliau di sisi Allah-ya karena siapa kita kok mendoakan nabi-kekasih Allah yang sudah begitu mulia kedudukannya. Sholawat kita pada beliau menunjukkan bahwa kita ini termasuk golongan orang-orang yang mencintainya. Mengingat bagaimana cicak itu masuk golongan pembenci karena turut meniup-dengan niat memperbesar-api nabi Ibrahim. Meskipun perbuatan cicak tidak berdampak apa-apa pada nabi Ibrahim tapi perbuatan itu menunjukkan pada golongan mana cicak berada. Maka marilah kita senantiasa bersholawat kepada nabi bagaimanapun kondisi kita, agar Allah dengan rahmatnya akan memasukkan kita pada golongan orang-orang yang mencintai dan mengumpulkan kita dengan orang yang kita cintai kelak di akhirat.

Tidak hentinya saya mengucap syukur, bahagia menerima kenyataan bahwa Allah menjadikan saya termasuk orang yang bersholawat kepada sebaik-baik manusia-kekasih Allah yang maha pengasih maha penyayang. Membayangkan bahwa jangankan pemberian yang tulus karena cinta, sholawat yang masih membawa nafsu pun akan menjadi amal yang diterima oleh Allah, didengar (melalui perantara malaikat) dengan penuh rasa syukur oleh Rosulullah1. Padahal mawar pemberian kita pada orang yang kita cintai dengan tulus saja belum tentu diterima dengan baik olehnya (padahal kedudukan orang itu belum jelas di sisi Allah), ini sholawat kita yang justru masih penuh aib malah menjadi hal yang dinantikan oleh sebaik-baik manusia di langit dan di bumi.

“ … Dan bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada“2.

Muhammad Ibni Abdillah, seorang nabi yang ummi, seorang jujur yang berbudi pekerti luhur dan bernasab mulia, sebaik-baik manusia yang keindahannya diterima oleh akal dan hati. Akan sering saya katakan bahwa beliau adalah sebaik-baik manusia, karena begitu bangga-bersyukur kepada Allah yang telah mengutus nabi dari golongan kita sendiri, junjungan yang manusiawi, yang begitu dekat dengan kita, yang makan dan minum, yang bisa merasakan sakit dan lelah, yang juga membutuhkan tidur, yang bisa merasakan takut dan sedih. Nabi Muhammad adalah dalil absolut bagi saya bahwa makhluk paling mulia adalah seorang manusia-kekasihnya Allah, tetap dengan segala sifat jaiz (manusiawi) yang ada pada dirinya.

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar

Termasuk keberkahan dari apa yang saya sebut diatas adalah bagaimana kita diajarkan untuk menjadi hamba itu secara manusiawi sekali. Contohnya ketika nabi hijrah ke Thaif dan kemudian oleh penduduk Thaif dilempari dengan batu. Kita tidak melihat atau mendengar “pertunjukan kesaktian” yang kemudian batu tersebut meleset semua misalnya, atau berubah menjadi kapas, atau kembali pada yang melempar atau bagaimanapun itu-yang jelas riwayatnya tidak demikian. Batu-batu yang dilempar oleh penduduk Thaif mengenai beliau hingga berdarah, kemudian beliau berlindung dan bersabar serta berserah kepada Allah dengan berdoa. Yang kemudian kita tahu bahwa beliau juga memohon petunjuk bagi penduduk Thaif, karena mereka termasuk orang-orang yang belum mengetahui atau belum paham dengan apa yang mereka kerjakan3.

Rosulullah tidak mensyariatkan kita untuk sakti, namun mengajarakan sabar dan ridho sebagai jalan kemuliaan. Secara syar’i kita tidak dibebani oleh hal-hal eksternal yang berada diluar kendali kita (namun hakikatnya tetap kita tidak pernah berkuasa bahkan atas diri kita sendiri). Sehingga definisi keren itu bukan ketika ingin sesuatu kemudian tercapai dengan mudah, keren adalah berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan kebaikan dan kebenaran. Keren adalah ketika hal yang diusahakan tidak tercapai kita masih kokoh berdiri dan bersandar kepada tuhan. Keren adalah ketika perbuatan kita tidak didikte oleh perbuatan orang lain kepada kita (baik atau buruknya mereka), namun oleh keluhuran pekerti sendiri. Dan seterusnya. Keren adalah menjadi manusia dengan sebaik-baiknya.

Waliyullah bukanlah orang yang kantongnya kosong tapi ketika dirogoh mengeluarkan banyak uang. Waliyullah adalah orang yang kantongnya banyak uang dan ketika dirogoh ternyata kosong, namun hatinya tidak bergerak sama sekali4.

Tentu banyak bisa kita temui sirah yang menunjukkan betapa manusiawinya sebaik-baik makhluk, nabi kita Muhammad SAW. Juga ketika perang khandak misalnya, jumlah kaum muslim kalah telak dengan kaum kafir. Mengetahui potensi ketimpangan pasukan seperti ini kemudian nabi itu ya sama seperti kita, merasa bingung-berfikir bagaimana cara mensiasatinya agar kaum muslimin bisa bertahan. Bermusyawarah dengan para sahabat dan kemudian  Allah jadikan ide untuk membuat parit itu munculnya dari Salman Al Farisi, dari sahabat. Yang kemudian kita tahu penggalian parit ini juga bukan hal yang mudah, nabi bersama para sahabat bergotong royong menggali parit membentengi Madinah untuk mengganggu atau me-nerf akses pasukan musuh5. Ketika berperang maka nabi mengatur strategi, bermusyawarah, berencana, memimpin dan berjuang bersama sahabat.

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Kita tentu juga pernah mendengar mukjizat nabi Muhammad membelah bulan, atau kemudian jari-jari beliau mengeluarkan air, bahkan melakukan isra dan miraj dalam satu malam. Nah meskipun hal-hal di luar nalar atau dalam tanda kutip “tidak manusiawi” atau anggap saja privilege kenabian itu tetap ada, namun kita tentu sama-sama menyadari bahwa mukjizat beliau sebagaimana yang saya sebut itu bukanlah sesuatu yang menjadi pondasi utama untuk menanamkan nilai-nilai keimanan. Hal-hal di luar nalar tetap perlu diadakan untuk menunjukkan ke-maha kuasaan Allah sekaligus ya memang menjadi ciri kenabian. Seperti nabi Musa membelah lautan, nabi Ibrahim yang apinya dingin, nabi Yunus selamat dari perut ikan paus, nabi Nuh dengan bahteranya, nabi Isa yang menghidupkan orang mati dsb. Hal-hal diluar nalar ini akan mudah menjadikan orang itu takjub dan kemudian beriman mengakui Allah sebagai tuhannya. Nah di sinilah kemudian datang nabi Muhammad bersama Al Quran sebagai mukjizat yang paling kokoh, yang mengajarkan kita untuk mengakui Allah sebagai tuhan dengan cara yang paling “manusia”.

Kita tahu bahwa mukjizat terbesar adalah Al-Quran, kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Sebagai penyempurna ajaran nabi-nabi terdahulu, yang mengajarkan kita untuk beriman itu melalui ilmu, melalui akal sehat atau nalar, menggunakan dalil yang begitu dekat dengan manusia dan kemudian menyentuh hati. Sehingga Al Quran ini adalah mukjizat yang sifatnya tidak temporal dan lokal, namun abadi dan universal-semua yang terbuka hatinya akan mengetahui kebesaran tuhan6.

Jika tanda kebesaran Allah berupa terbelahnya lautan hanya bisa dilihat oleh bani israil saja dan ya hanya pada waktu itu saja. Al Quran mengajarkan kita untuk mengangungkan Allah itu benar-benar atas dan/atau dalam segala sesuatu. Al Quran mengajarkan kita untuk kemudian melihat nyamuk yang begitu kecil, bagaimana penciptaannya. Melihat langit yang tinggi bulan bintang matahari bergerak susuai jalurnya, siapa yang mengatur semua itu. Sehingga dapat saya sampaikan bahwa mukjizat terbesar rosulullah ini, Al Quran itu mengajarkan dan menjadikan kita terbiasa untuk mengagungkan Allah tanpa perlu menunggu hal atau media yang aneh-aneh. Dan ini menjadi penting karena apabila kita dibiasakan untuk mengagungkan Allah dari hal-hal yang “tidak teratur” (aneh-aneh) maka keimanan kita akan tumpul di pengelihatan dan ingatan saja. Bisa menjadi masalah dikemudian hari sehingga orang yang lebih sakti dianggap lebih benar, padahal kebenaran itu harus diterima secara objektif dari apa yang disampaikan bukan dari seberapa sakti atau kuat orang yang menyampaikan.

“Muhammad tiada lain kucuali seorang rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu?….

An Nisa: 144 ini turun berkaitan dengan menjadi ragunya sebagian kaum muslimin di tengah medan perang uhud, setelah medengar isu bahwa rasulullah telah terbunuh

Kita diajak untuk menyaksikan “keteraturan” sebagai nikmat, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk. Mudah saja Allah jadikan kambing beranak unta, pohon pisang berbuah semangka dsb. Namun jika banyak kejadian-kejadian tidak teratur, bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Allah jadikan keteraturan bahwa orang yang berusaha akan berhasil, orang yang menanam akan memanen, orang yang beribadah akan masuk surga dsb. Itu juga bentuk kebesaran Allah dari sisi rahman rahimNya. Sehingga manusia bisa berencana, bisa berusaha untuk menggapai sesuatu, supaya syariat tetap bisa ditegakkan. Bahkan pada surat tabarak (Al Mulk) bisa kita temui Al Quran memperkenalkan Allah sebagai dzat yang menguasai segala kerajaan, maha kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati, hidup, menciptakan tujuh langit itu kemudian diikuti ayat yang mengingatkan kita pada keteraturan,  مَّا تَرَىٰ فِى خَلْقِ ٱلرَّحْمَـٰنِ مِن تَفَـٰوُتٍۢ , Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan tuhan yang maha pengasih.

Maka ikhtiar adalah cara kita mensyukuri nikmat Allah berupa keteraturan yang diciptakanNya di dunia ini.

Seseorang yang bisa melihat agama ini sebagai ajaran yang logis dan relevan, tentu lazimnya akan bercita-cita menjadi orang alim. Ya meskipun tidak kesampaian karena malas atau sibuk dengan hal-hal lain. Namun minimal keinginan tersebut menumbuhkan rasa cinta kepada para ulama, pada masayikh, pada orang-orang yang menyampaikan ilmu, guru-guru kita, terlebih jatuh cinta pada mpunya ilmu itu sendiri yakni Rosulullah saw.

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad.


1“Semua amal ibadah berpotensi diterima dan ditolak Allah kecuali shalawat nabi SAW karena ibadah shalawat dipastikan penerimaannya sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW. Ijma’ ulama menghikayatkan masalah ini,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 48)
https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/amal-ibadah-yang-pasti-diterima-oleh-allah-swt-eT7xR

2 (HR Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i)

3 https://suaramuhammadiyah.id/2021/03/19/nabi-muhammad-saw-19-hijrah-ke-thaif/

4 Syarah Al Hikam

5 https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perang-khandaq-kecerdikan-nu-aim-bin-mas-ud-dan-kepastian-janji-allah-0QUjn

6 “Para nabi atau rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan misi mereka disebabkan terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman”. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA dalam bukunya Membumikan Al Quran (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 39.

Hal kesembilan: Ketergelinciran dari Itikad Mulia

Wahai tuhanku, wahai tuanku. Jika esok hari Engkau menetapkanku mendapat siksa, maka janganlah Engkau memberi tahu mereka tentang siksaku, demi menjaga kemuliaanMu, bukan karena diriku. Supaya mereka tidak berkata ”Allah menyiksa orang yang menunjukkan jalan kepadaNya”. Wahai tuhanku, berkat kemuliaanMu, peliharalah keyakinan mereka terhadapku dengan memberitahukan mereka akan mungkinnya siksaan bagi orang yang menunjukkan jalan kepadaMu

Ibnu Jauzy dalam Shaidul Khatir

Barangkali judul kesembilan ini akan menjadi tulisan yang singkat, karena hanya sebagai sedikit tambahan saja dari judul sebelumnya (baca:Istiqomah) berkaitan dengan ujian bagi seorang yang berkedudukan tajrid, ujian yang sifatnya lebih khusus.

Sebelum itu tentu harus disepakati bersama bahwa kedudukan seseorang adalah suatu kondisi batin yang tidak bisa diketahui oleh mata awam kita, sehingga sangat tidak layak bagi kita yang hanya melihat kejadian lahir orang lain kemudian menyebutnya tergelincir dari itikad mulia. Dan tulisan ini hanya dimaksudkan untuk memperlebar sedikit sudut pandang kita terhadap istilah ketergelinciran dari itikad mulia dari sisi pemahaman penulis.

Mengingat kembali pesan Ibnu Athaillah dalam kitab Al Hikam, bahwa keinginan kita untuk asbab padahal Allah telah mengkukuhkan kita pada kududukan tajrid adalah termasuk  اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ, ketergelinciran dari itikad (himmah) mulia. Berbeda dengan yang sebaliknya (keinginan untuk tajrid padahal ditempatkan pada kedudukan asbab yang disebut merupakan kedirian/egoisme yang samar), ketergelinciran dari itikad mulia terasa cukup ironis sehingga saya buat menjadi satu judul sendiri1. Karena kondisi tersebut kurang lebih akan menimbulkan pertanyaan “bagaimana mungkin seorang yang telah dimudahkan jalannya untuk mengingat Allah malah berpaling pada hal selainnya?”.

Meskipun dikatakan bahwa keinginan untuk asbab adalah sebuah ketergelinciran, bukan berarti kedudukan asbab berada lebih rendah dari kedudukan tajrid. Disebut dengan ketergelinciran lebih karena kondisi tersebut mengindikasikan bahwa hati mulai condong pada dunia. Sedangkan yang sebaliknya disebut kedirian yang samar karena apa yang diperbuat memiliki maksud terselubung berupa diberi sebuah kedudukan yang diinginkan, padahal baik asbab maupun tajrid seharusnya keduanya ditegakkan dengan niat lillahitaala.

Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam

Nikmat dunia telah menjadi ujian alami bagi seorang mukmin, dan tentu semakin tinggi tingkat kealiman seseorang, maka semakin samar juga cara ujian itu datang. Kita ambil contoh seorang pendakwah misalnya, di tingkat awal bisa saja kita melihat ujian yang dihadapi hanyalah berupa pesangon yang didapat ketika berceramah atau saat mengisi majlis ilmu, sehingga tiap kali berdakwah muncul risiko membawa rasa “arep-arep” yang berakibat pada percampuradukan (tasyrik) dalam niatnya. Namun bisa jadi, pada tingkatan selanjutnya ujian yang mengarah pada ketergelinciran dari himmah mulia datang dengan cukup samar dan kadang  dibalut oleh niat baik, atau bahkan tidak akan terlihat sebagai ujian bagi seorang awam.

Seperti misalnya niatan agar dakwahnya diterima oleh masyarakat, seorang dai berprinsip untuk membaur dengan masyarakatnya perihal sesuatu yang disenangi oleh mereka (hal-hal yang mubah), karena seorang yang disenangi akan lebih didengar dan mudah mengajak pada kebaikan. Apabila tidak menjaga niatnya, yang terjadi hanyalah “membaur dan berusaha disenangi orang banyak”. Karena pada prinsipnya, banyak melakukan hal yang mubah (duniawi) akan menggelapkan hati2, sehingga kita menjadi lupa akan hakikat. Dalam itikad mulia untuk menyampaikan hukum-hukumnya Allah, dihatinya malah muncul rasa sedih karena masih belum bisa memikat hati banyak orang.

Bagi kita barangkali hal tersebut bukan masalah yang besar, namun bagi pribadi seorang yang berkedudukan tajrid itu menjadi awal dari ketergelinciran atau bahkan ketergelinciran itu sendiri. Seorang yang berujar “ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi” hatinya mulai sibuk mencari perhatian umat. Padahal sejak awal tetap; hidayah, ilmu, pemahaman berada di sisi Allah. Menyampaikan kebenaran serta saling memberi nasihat tentang kebaikan adalah sebagai bentuk ibadah kepadaNya (1), sementara berusaha disenangi agar ajarannya diterima adalah kududukan asbab untuk berhasil (2). Jadi dikatakan tergelincir adalah ketika kecenderungan hatinya bergeser dari kalimat pertama-ibadah (1), ke kalimat kedua-usaha disenangi(2).

Andai hidayah itu seperti buah yang bisa kubeli, maka akan kubeli berkeranjang-keranjang untuk aku bagikan pada orang yang aku cintai

Imam Syafii

Contoh lain yang lebih sederhana menggambarkan bagaimana nikmat dunia membawa ketergelinciran dari itikad mulia adalah kondisi begini: Ada seorang PNS (anggap saja seorang ahli tajrid) yang sibuk bekerja, mengabdi melayani masyarakat dengan ikhlas lillahitaala meskipun mendapat gaji yang sama dengan rekannya yang hanya bekerja seadanya. Kemudian suatu hari nikmat dunia datang, cair sejumlah insentif dengan nominal yang besar dari kantor, dan ternyata nilainya berbeda-beda tiap pegawai bergantung pada penilaian formil kinerjanya oleh atasannya.

Ketika seorang yang ikhlas ini tahu besaran insentif temannya yang hanya bekerja seadanya justru jauh lebih besar darinya, hatinya mulai bertanya kenapa. Seorang yang awalnya tidak mempermasalahkan nikmat gaji dan ikhlas melayani, keikhlasannya malah gentar ketika ada nikmat dunia datang sebagai ujian. Padahal sejak awal variable insentif tidak pernah ada dalam perhitungannya dalam bekerja ikhlas, sekali lagi saya ulangi; padahal sejak awal variable insentif ini tidak pernah ada dalam perhitungannya dalam bekerja ikhlas. Namun ketika dia mendapat nikmat dunia, justru muncul pemikiran “harusnya saya bisa lebih besar”.

Sebelum adanya bonus dia ikhlas melayani, namun setelah menerima sesuatu yang bahkan di awal tidak dinantikan, keikhlasannya malah memudar-karena harusnya ada peluang untuk mendapat lebih. Tergelincir dari predikat mukhlis (atau bahkan mukhlas) menjadi predikat seorang yang perhitungan, dengan ciri esensi asbab (sebab akibat) dimana yang bekerja lebih banyak, seharusnya mendapat bonus lebih besar.

Memang hal itu terdengar tidak adil, dan apabila menemui kondisi seperti ini kemudian kita merasa hal itu tidak selayaknya terjadi lagi, perasaan tersebut muncul karena kita berada pada kedudukan asbab dan memang perasaan itu bukanlah dosa, kedudukan kita memang di situ. Justru apabila kita yang berada pada kedudukan asbab memaksa “sok tajrid” (diam saja dan tidak bertindak korektif), itu termasuk kedirian/nafsu yang samar. Sama seperti seorang yang baru ikut belajar tasawuf kemudian karena “ingin wali”, tiba-tiba bertindak ekstrim-setiap gajian seluruh gajinya diserahkan pada anak yatim misalnya, orang yang seperti ini bisa jadi amalnya terdorong oleh nafsu yang samar, bukan murni mencari ridho Allah tapi mengejar kedudukan “keren”nya para wali Allah.

Namun dari contoh PNS di atas perlu kita ingat bahwa perasaan didzalimi, sedih, melirik nikmatnya orang lain, hal seperti itu yang bisa membawa kepada keraguan terhadap takdir Allah. Dan kepada Allah kita berlindung dari hal yang demikian.

Katakanlah Muhammad, “dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira

Khusus untuk mengenali kebenaran sejati itu tidak ada masalah sosial, kebenaran itu absolut

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim

Hal lain lagi yang bisa saya sampaikan dalam satu judul ini adalah kisah setalah terjadinya perang hunain yang dimenangkan oleh kaum muslimin. Sahabat anshar sedikit mempertanyakan sikap rasulullah mengenai harta rampasan perang yang dibagi-bagikan kepada para muallaf. Orang-orang yang baru memeluk islam atau dalam kata lain kontribusinya untuk agama ini belum ada, malah diberi bagian yang lebih banyak seperti kambing, unta, pakaian perang dsb.

Setelah sikap mempertanyakannya para sahabat itu sampai pada rasulullah, di sini jawaban beliau kepada para sahabat terdengar unik, menunjukkan pada kita bagaimana itu logika nubuwwah, “wahai kaum anshar, apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa dunia (riwayat lain bahkan menyebutkan kata dunia diganti dengan kambing dan unta, jadi-membawa kambing dan unta) sementara kalian pulang membawa serta nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah-rumah kalian?”3 . Di mana jawaban tersebut lantas membawa haru bagi kaum anshar, mereka tersadar serta bersyukur bahwa ketika yang lain hanya pulang bersama kambing dan unta, mereka adalah orang-orang yang hidup bersama rasulullah dan berjuang bersama beliau. Bagaimana bisa membandingkan nikmat dunia dengan kemuliaan yang luar biasa istimewa?- ketika Allah takdirkan mereka untuk menolong nabi dan kaum muhajirin.

Di sisi lain kita juga bisa melihat bagaimana rasulullah menjaga kedudukan para sahabat anshar agar kokoh pada kududukan sebagai orang yang menolong (anshar)-berjuang bersama rasulullah-memperjuangkan agama, sehingga tidak berpindah (tergelincir) pada kedudukan orang yang menerima, atau mengharap diberi oleh agama. Sebagai seorang yang berkedudukan asbab tentu kita berpikir bahwa yang berkontribusi lebih pada agama akan mendapat imbalan lebih dari agama ini, mungkin tidak salah, namun nyatanya bukan begitu logika nubuwwah.

Wallahu alam bishowab.

jika tangan di atas masih lebih baik dari pada tangan dibawah, maka dimana posisi kita jika setelah memberi malah mengharap imbalan

Dan mereka (kaum Anshar) tidak menaruh keinginan dalam hatinya terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka, mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun sedang dalam kesusahan


1Pembahasan tentang tajrid dan asbab telah disampaikan pada Hal kedelapan: Istiqomah.

2Ibnu Jauzy dalam Shaidul Khatir, “terlalu banyak melakukan hal yang mubah dapat menggelapkan hati”, ketika menggambarkan betapa rusak hati seorang yang terbiasa dengan hal-hal haram. (Namun tentu kita tahu sebagian ulama juga berpendapat bahwa hal-hal mubah bagi seorang awam justru bisa menjadi sarana untuk menghindari perilaku maksiat)

3 HR. Al-Bukhâri, al-Fath, 16/170. no. hadits 4331 dan Imam Muslim, 2/736, no. 1059 Referensi : https://almanhaj.or.id/6251-pembagian-ghanimah-perang-hunain.html#_ftn2

Hal kedelapan: Istiqomah

Tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah yang maha tinggi lagi maha agung

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dan segala puji bagiNya tuhan semesta alam. Semoga Allah jadikan hati kita adalah hati yang senantiasa menghadap, kokoh bertasbih memuji mengagungkan namaNya.

Seperti pada judul-judul sebelumnya, isi dari tulisan ini hanyalah curahan hati dan kepala penulis sebagai pengantar dari judul universal yang diangkat. Bukan mengajarkan bagaimana untuk istiqomah, namun lebih kepada mengajak untuk sama berusaha, serta mengakui betapa penting dan berat bagi pribadi ini menjalankannya.

Tidak ada tuhan selain Engkau, maha suci Engkau dan sungguh kami termasuk orang yang dzalim

Sebelum saya menyinggung istiqomah, atau konsistensi, atau keteguhan diri, akan baik untuk saya sampaikan bahwa saya termasuk orang yang berpendapat, atau memegang pendapat bahwa pola pikir manusia-kondisi batin seseorang (seorang mukmin khususnya) dapat berada pada dua kedudukan, yaitu asbab dan tajrid.

Saya pahami dan sederhanakan secara kasar bahwa seorang yang berada pada kedudukan asbab adalah mereka yang alam bawah sadarnya meyakini bahwa untuk memperoleh sesuatu maka kita harus berjuang secara riil (berurusan dengan dunia) karena memang begitulah sunnatullah. Sedangkan seorang yang berada pada kedudukan tajrid adalah mereka yang alam bawah sadarnya rela bahwa urusan mereka di dunia ini sudah ada yang mengatur, sehingga yang terpenting adalah rasa ridha dan syukur. Dan kedua kondisi tersebut adalah sesuatu yang tidak dibuat buat olehnya, sehingga kedudukan seseorang itu asbab atau tajrid sebenarnya tidak bisa dilihat dari sisi lahir.

Istiqomah lebih baik dari pada seribu karomah

Seorang yang berada pada kedudukan asbab (hukum kausalitas sebab akibat) maka menjalani hidup ini dengan berpegang pada kenyataan hukum sebab akibat atau keteraturan yang Allah ciptakan di dunia ini. Seperti seorang yang ingin kaya maka harus bekerja, seorang yang ingin berhasil maka harus berjuang, ingin sembuh maka harus berobat, dan seterusnya. Sedangkan seorang yang berkedudukan pada sisi tajrid maka akan menjalani hidup ini dengan bersandar kepada janji Allah dan eksistensi dirinya tidak mengharuskannya untuk menegakkan hukum kausalitas. Karena memang rizki yang telah ditetapkan untuk kita pasti akan datang dengan sendirinya, apapun yang terjadi tidaklah lagi dirasa penting karena Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu, sakit yang Allah berikan akan melunturkan dosa-dosa kita sehingga sakit lahir itu terasa nikmat pada batinnya seorang tajrid, dan seterusnya seperti yang telah banyak kita bahas sebelumnya.

Keinginanmu untuk tajrid padahal Allah tempatkan pada kedudukan asbab adalah kedirian/egoisme yang samar. Sedangkan keinginan untuk asbab padahal Allah telah meletakkanmu pada kedudukan tajrid adalah ketergelinciran dari itikat mulia.

Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam

Bercita-cita menjadi seorang salik yang sibuknya hanya berdzikir, membersihkan hati, menyendiri di antara manusia, menjauhkan diri dari dunia, beruzlah, itu baik dan mulia sebagai jalan menuju Allah. Namun di sisi lain memperjuangkan agama di tengah masyarakat, menebarkan kemanfaatan bagi sesama manusia, dibutuhkan oleh masyarakat luas, menjadi penggerak roda perekonomian, itu juga merupakan kebaikan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Di mana pun Allah tempatkan diri kita, kita harus menjalankan tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya sesuai dengan adab syariat dan hakikat. Istiqomah-itulah yang utama, karena fokus menjalankan apa yang Allah inginkan dari diri kita lebih mulia dari keinginan egois kita pribadi, yang risau terhadap penempatan pada kedudukan/keadaan tertentu. Sehingga yang harus digaris bawahi adalah bahwa tujuan kita hanyalah ridhanya Allah, bukan kedudukan yang Allah berikan pada diri kita.

Sesungguhnya di antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh sholat, puasa, haji, dan umroh, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam mencari nafkah

Sebagai seorang yang setengah-setengah seperti kita, tentu bisa saja tidak selamanya termasuk pada kedudukan asbab atau sebaliknya tidak juga kokoh pada kedudukan tajrid. Meskipun tentu tidak boleh menutup kemungkinan bahwa bisa saja kita nanti akan ditempatkan di satu kedudukan tersebut sampai akhir perjalanan kita, atau bahkan tidak pada kedua kedudukan tersebut sampai akhir perjalanan nanti1. Kita adalah makhluk yang lemah, yang sekuat apapun tekadnya tidak akan pernah bisa merobek dinding takdir.

Sangat mungkin Allah memindah kedudukan kita pada asbab menuju tajrid-ataupun sebaliknya-di saat yang tidak kita sangka. Seorang yang Allah jadikan dirinya berada pada kedudukan asbab maka harus menegakkan hukum sebab akibat karena Allah, begitu pun sebaliknya seorang yang diberikan kedudukan tajrid haruslah mencukupkan diri dari problematika duniawi. Misalnya seorang dokter yang menangani pasien, tidak bisa dia mengatakan pada si pasien untuk cukup bersabar dan membiarkan saja rasa sakitnya agar dosa-dosanya terus diampuni, atau seorang gubernur yang ketika daerahnya terjadi krisis pangan kemudian memberi solusi pada warganya untuk bertaubat agar rizki mereka datang dari arah yang tidak disangka-sangka, tentu hal tersebut adalah sikap yang tidak relevan dengan kedudukan yang Allah berikan kepadanya. Begitupun seorang alim tentu tidak layak untuk kemudian mengajar dan memperbanyak murid dengan tujuan agar menambah penghasilannya, seorang sufi yang kemudian mengejar seorang wanita dengan tanpa memperhatikan adab seorang salik (misalnya memaksakan kehendak untuk menikahi) dengan dalih dia wanita salehah, seorang yang sudah memiliki penghasilan tetap namun kesendiriannya hanya digunakan untuk pusing masalah perutnya saja, dsb.

Bagi seorang yang belum kokoh dalam satu kedudukan tertentu, sikap yang tidak sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan tersebut adalah suatu kedzaliman yang samar, namun disisi lain penyesuaian terhadap perubahan kedudukan yang Allah berikan dapat menjadi ujian bagi kita untuk istiqomah dalam menghadapkan hati kita kepada Allah. Karena hal tersebut dapat membolak balikkan kondisi hati seorang hamba yang begitu rapuh dan mudah terombang ambing ini. Seorang yang biasanya menyendiri dalam dzikirnya kemudian harus berurusan dengan masyarakat banyak sehingga muncul berbagai penyakit hati, seorang yang terus berurusan dengan masyarakat banyak mulai mengakui daya dan upayanya sendiri sehingga melupakan kodratnya sebagai hamba dan lalai dalam urusan akhirat.

Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin

Jangankan mereka yang berpindah pindah kedudukan, hati yang sudah teguh menghadap kepada Allah dalam satu kedudukan pun, biasanya akan ada rintangan/ujian yang khas lahir dari kedudukan tersebut. Rintangan bagi seorang yang sudah teguh berada pada kedudukan tajrid biasanya tidak jauh jauh dari penyakit ujub; merasa dirinya lebih mulia dari orang lain, hasud; membenci kebaikan yang diterima orang lain bahkan mengutuk orang lain. Sedangkan bagi seorang yang berada dalam kedudukan asbab biasanya tidak jauh dari penyakit lalai oleh dunia, syahwat, riya, sombong, iri dan berbagai hal yang membutakan hati.

Jadi bisa kita bayangkan betapa hinanya seorang yang Allah berikan kedudukan tajrid, harus berpindah pada kedudukan asbab kemudian bergelut dengan urusan dunia sebentar saja dan dihatinya malah dibutakan oleh nafsu. Atau betapa tidak tahu dirinya seorang yang berkedudukan asbab kemudian diberi kesempatan menggunakan hartanya untuk melaksanakan haji, hatinya malah menjadi ujub, merasa paling mulia dan harus dicium tangannya oleh masyarakat.

Melihat begitu lemahnya diri kita dan betapa banyak serta berat ujian untuk meniti jalan menuju kemuliaan abadi, maka dapat kita pahami bahwa istiqomah adalah sesuatu yang diperjuangkan-bukan semata-mata ada pada seseorang dengan kedudukan tertentu. Sudah sekian riwayat tentang seorang yang hidup mulia kemudian suul khatimah, jangankan manusia-kita pun mendengar kisahnya Harut dan Marut yang kemudian tergelincir karena hawa nafsu yang diberikan pada mereka. Ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta kemauan kuat untuk terus berada di jalan Allah adalah bekal mendasar untuk  menegakkan istiqomah. Dengan kedua bekal tersebut maka kita telah membawa senjata untuk  membentengi diri dari bahaya yang datang atau setidak tidaknya tersadar untuk kembali ke jalan kebenaran ketika diri mulai menyimpang.

Menurut syeikh Izuddin-semoga Allah swt. merahmatinya- (dalam kitab syajaratul maarif) secara naluriah manusia akan mengedepankan tujuan yang paling utama lalu yang lebih utama, mencari yang paling penting lalu yang lebih penting, dan juga menolak bahaya yang lebih besar dari bahaya yang lebih kecil. Serta dapat kita pahami bahwa skala prioritas tersebut haruslah diketahui dengan ilmu. Maka apabila kita sudah berilmu dan mengetahui, naluri kita akan mempermudah diri untuk beristiqomah. Namun nyatanya manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Maka dari itu termasuk usaha untuk istiqomah adalah menjaga ilmu entah dengan terus belajar, mengulang ulang ilmu meskipun sedikit, menulis dan menyebarkan ilmu yang dimilikinya, dan lain sebagainya. Yang tentu semua itu adalah atas seizin Allah, maka kita selalu memohon pertolongan, taufik dan hidayah kepadaNya.

Makanan hati adalah ilmu dan hikmah, dengan keduanya hati menjadi hidup layaknya tubuh yang selalu butuh makanan dan minuman

Imam Al Ghazali dalam Ikhtisar Ihya

Selain menghidupkan hati dengan ilmu, kita harus memaksa tubuh kita yang rapuh ini untuk terus tegak dalam menghadapai hantaman godaan baik yang terlihat jelas maupun yang samar. Kita harus rajin mengecek hati kita apakah mulai ada benih penyakit. Dan untuk menjaga yang batin tentu dimulai dari yang lahir dahulu-yang lebih mudah, pastikan sisi luar kita bersih, perhatikan sisi luarnya karena itu akan membantu kita untuk menata sisi bagian dalam. Atau setidaknya apabila sisi luar terlihat bagus maka kita menjadi ingat bahwa ada sisi bagian dalam yang harus dijaga juga. Untuk menjaga hati dari syahwat, tentu kita harus memaksa kelima indra kita, menghindarkan sisi lahir kita dari berbagai hal yang dapat memicunya, menghindari diri dari ruang-ruang maksiat atau bergaul dengan orang-orang sholeh dsb. (Rosulullah pun mengajarkan kita untuk berpuasa menahan lapar dan haus untuk memerangi hawa nafsu).

Jangan tinggalkan dzikir karena kitidakhadiran hatimu bersama Allah dalam dzikir itu.

Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam

Jika kamu tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat pasti akan disibukkan dengan hal2 batil

Imam Ibnu Qoyyim

Karena istiqomah bukan lah sesuatu yang dicapai, namun suatu perjuangan terus menerus tiada akhir, tentu sudah kita rasakan sendiri bahwa salah satu keberkahan ibadah wajib adalah sebagai tiang keimanan kita. Kita syukuri bahwa Allah mewajibkan kita untuk sholat lima waktu dalam satu hari. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jika semua sholat itu hukumnya anjuran-sunnah. Tentu perjuangan kita untuk menegakkannya akan jauh lebih berat lagi karena bertumpu pada kemauan hati yang sifatnya berbolak balik. Kita harus memaksa tubuh kita untuk bersujud menempelkan kening pada tanah, barulah bisa mengajak jiwa kita untuk turut bersujud bertasbih memuji mengagungkan Allah. Tanpa kewajiban sholat, seorang yang berada di kedudukan asbab bisa saja tidak mengingat Allah sama sekali dalam siang dan malamnya sehingga semakin jauh dari kodrat penciptaannya untuk bersujud. Tanpa kewajiban-kewajiban yang Allah berikan atau amal lahiriah lainnya, tentu pengakuan para ahli tajrid, “Ya tuhanku Engkaulah yang hamba maksud dan RidhoMu lah yang hamba dambakan” menjadi sesuatu yang masih perlu pembuktian.

Wallahu alam bishwoab.

Ya tuhan kami janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk bagi kami

Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi

Tidak jarang saya membaca ulang apa yang pernah saya tulis, rasanya seperti mendapat pesan dari orang lain di masa lalu.


1 Menurut syaikh Ahmad Zarruq dalam syarah Al Hikamnya, mereka yang tidak masuk dari salah keduanya (asbab dan tajrid) harus berusaha memastikan dari satu sebab ke sebab yang lain. Tanda bahwa Allah memberikan posisi tertentu pada seseorang adalah ketika ia bisa istiqomah dalam posisi itu.

Hal ketujuh: Berkeinginan

Berdoalah kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan

Allah maha mengabulkan segala doa

Allah maha menepati janji

Berkeinginan erat kaitannya dengan pembahasan tentang cinta. Keduanya adalah tentang kecondongan hati terhadap sesuatu yang dilihatnya. Baik menggunkan pandangan yang arif maupun pandangan yang lalai. Dan sudah menjadi kodrat manusia bahwa Allah jadikan kita memiliki keinginan sebagai nikmat, sebagai penggerak, dan sebab berbagai kondisi hati;  seperti berharap, takut, cemas, optimis, sedih dan lain sebagainya. Menginginkan sesuatu yang diridhai Tuhan adalah sebuah kemudahan yang dianugrahkan kepada kita, sedangkan menginginkan sesuatu yang hina dan dimurkai Tuhan kemudian diberi kekuatan untuk menjauhinya adalah sebuah kemuliaan yang dianugrahkan kepada kita.

Sebaik-baik yang kita inginkan adalah apa yang Allah ingin dari hambaNya

Dengan rasa ingin maka seseorang yang beriman akan tergerak menghadapkan wajah untuk berdoa meminta kepada Tuhannya. Dengan menginginkan sesuatu maka rasa “butuh” akan hadir dalam kalimat-kalimat permohonan yang dipanjatkan, sehingga kita benar-benar menghadirkan hati di sana. Berkeinginan adalah ujian keimanan terhadap qodho dan qodar. Dan dalam Shaidul Khatirnya Imam Ibnu Jauzy, beliau menyampaikan pesan bahwa ujian tetap datang saat kita bersabar maupun tidak dalam menjalaninya, begitu juga ujian tetap pergi baik kita bersabar maupun tidak dalam menjalaninya. Maka sabar adalah wajib, dan ridha adalah maqom tertinggi. Ridha atau rela terhadap keputusan Allah, terlebih pada apa yang tidak kita inginkan merupakan kedudukan para kekasihNya.

Kembali saya sampaikan bahwa memiliki keinginan adalah kodrat manusia, dan sebaik-baik orang yang ingin adalah mereka yang berdoa, sebaik-baik orang yang berdoa adalah orang yang ridha terhadap pengabulannya. Sungguh Allah maha mengabulkan doa sesuai dengan kehendakNya, bukan sesuai dengan keinginan kita-dan sebaiknya memang begitu. Tidak bisa kita bayangkan bahwa jaminan pengabulan doa yang Allah janjikan itu disesuaikan dengan keinginan makhluk. Karena jika demikian, maka betapa berat beban ilmu yang harus kita tanggung sebelum memulai untuk berdoa? Betapa ribet kita harus merencanakan dahulu sebelum kita mulai untuk berkeinginan. Hingga perlu memperhitungkan dampaknya baik yang langsung terlihat maupun dampak ganda (multiplier effect) yang mungkin terjadi dan tidak terbatas jumlahnya, serta menimbang variabel-variabel lain yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam hidup. Tidak terbayang oleh kita jika dunia ini diatur oleh keinginan-keinginan yang bersumber dari pengetahuan yang tidak utuh. Dan saya sadari, bahwa tidak pernah sekalipun-dari sekian keinginan yang pernah saya panjatkan dalam doa kemudian tidak terjadi-itu menjadi masalah besar dan penyesalannya itu berlarut-larut. Justru sebaliknya banyak keinginan yang tidak terjadi itu malah saya syukuri, atau malahan beberapa kali ada doa-doa yang saya revisi di tengah jalan.

Tidak pernah aku berdoa kepadaMu, waha Tuhanku, kemudian kecewa

Selain dengan alasan di atas, dari sudut pandang tasawuf pun-dalam syarah Hikam oleh Syeikh Ahmad Dzarruq-disampaikan bahwa termasuk keberkahan dari jaminan pengabulan doa yang tidak disandarkan kepada keinginan makhluk-karena tiga hal; Yang pertama adalah cinta Allah kepada kita sehingga ketetapanNya selalu merupakan segala sesuatu yang kebaikannya itu berada di sisiNya (dipilihkan dengan pengetahuanNya, dengan kasih sayangNya, dengan kebijaksanaNya). Kedua adalah karena hakikat doa itu sendiri yang merupakan perbuatan/amal untuk menunjukkan pengakuan bahwa kita adalah hamba yang sedang menghadap kepada Tuhan yang maha berkuasa atas segala sesuatu, lantas bagaimana seorang hamba mengatur Tuhannya?. Dan yang ketiga adalah demi menjaga hakikat Ubudiah (penghambaan), sehingga kita benar-benar merasa fakir, butuh, dan hina dihadapan Allah1.

Bagaimana mungkin Allah yang sudah mentaqdir kita untuk berdoa, malah tidak menghendaki pengabulannya

Apabila kita adalah seorang yang memiliki banyak dosa, hal tersebut lantas jangan menjadikan kita berhenti berdoa ketika memilki keinginan terhadap sesuatu. Boleh jadi maksiat menghalangi keterkabulan doa (yang sesuai dengan keinginan kita), adalah karena Allah menjadikan pengabulannya sebagai ampunan bagi kita di akhirat kelak. Merasa butuh kepada Allah adalah kebenaran dan kebaikan yang mutlak sehingga tidak bergantung siapa subjek yang melakukannya. Baik seorang ahli maksiat sampai mereka yang paling khusyu dalam sholatnya, berdoa-sebagai bentuk ubudiyah-adalah baik. Teruslah berdoa meski itu dengan keinginanmu yang bersumber pada kebodohan, Allah dengan rahmatNya akan mengabulkannya satu persatu sesuai dengan prioritas kebutuhan yang seharusnya kau minta.

Aku sesuai prasangka hambaKu, Aku bersamanya ketika ia mengingatKu

Dan apabila prinsip berdoa sudah menjadi bentuk pengakuan-untuk memperlihatkan bahwa kita adalah hamba yang membutuhkan pertolongan tuhannya, maka sudah menjadi adab dalam berdoa untuk mengawalinya dengan pujian kepada Allah. Hal tersebut adalah untuk menegaskan pada hati yang sedang menghadap ini siapa dzat yang sedang dihadapnya dan siapa yang sedang menghadap, sehingga diri mengingat kedudukannya yang lemah disamping luasanya rahmat Tuhan yang maha pengasih. Berikutnya adalah bersholawat kepada Nabi, mengharapkan kebaikan untuknya, karena adab mengharuskan kita untuk menginginkan sesuatu yang lebih utama dibanding yang lain setelahnya. Bagaimana mungkin seorang yang beriman mendahulukan keinginannya yang egois dibanding mengharapkan keselamatan manusia yang paling dicintai penduduk bumi dan langit. Kodrat seorang pecinta adalah memberi, maka sebagai bukti kecintaan kita kepada nabi adalah bersholawat kepadanya, karena apalagi yang bisa kita berikan-meskipun kenyataanya beliau tidak membutuhkan doa kita, alih2 justru kita lah yang membutuhkan syafaatnya. Setelah bersholawat, sudah seharusnya permohonan kita yang pertama adalah ampunan atas dosa-dosa kita, karena hanya kepada Allah lah kita memohon, dan Dia lah yang maha suci-sementara kita seorang yang dzalim. Dimana adab kita apabila meminta dan menghadap kepada yang maha suci dalam keadaan kotor, menyebut nama Allah yang maha agung dan maha tinggi dengan mulut yang sering digunakan untuk berdusta. Maka mohonlah ampunan-sungguh Tuhanku adalah dzat yang maha pengasih maha mensyukuri. Setelahnya kita memohon kebaikan untuk orang tua dan guru-guru kita, terlebih mereka yang telah Allah jadikan perantara untuk kita menerima nikmat sehingga menjadi seorang mukmin yang tergerak untuk berdoa kepada Allah.

Begitulah adab dalam berdoa menurut pribadi penulis. Dengan memuji Allah dan terus mensifatiNya dalam doa kita, bisa jadi keinginan-keinginan kita yang digerakkan oleh nafsu akan hilang, dan malah mencukupkan diri dengan apa-apa yang Allah inginkan dari kita. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang, maha pemurah, maha mengetahui, maha mencintai, maha adil, maha bijaksana, maha menetapkan, maha berdiri sendiri, dan berkuasa atas segala sesuatu-penulis menyadari bahwa sulit menghadap kepada Allah kemudian meminta, sementara Allah sudah menghendaki kebaikan untuk kita bahkan sebelum kita menginginkannya.

Wallahu alam bishwoab.


1Apa yang disampaikan oleh Syeikh Ahmad Zarruq dapat kita ditemukan di terjemahan Hikam Ibnu Athaillah:Syarh al Arif billah Syaikh Zarruq yang ditahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, diterjemhakan Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi, (Cetakan I Penerbit Qalam).

Hal keenam: Cinta

Adalah hal yang saya pelajari betul dan saya rasakan sendiri sebagai ilmu; bahwa mencintai adalah anugrah, kodrat seorang pecinta adalah memberi. Orang yang jatuh cinta maka hatinya menjadi lembut. Cinta adalah isyarat keindahan dari tuhan yang paling jelas. Dengan jatuh cinta pada manusia, maka hati mendapatkan ilmu yang tidak bisa dijelaskan melalui kata2. Tentang bagaimana nikmat melihat keindahan, bagaimana sejuknya hati melihat yang indah itu. Diiringi dengan keimanan, maka orang berakal tentu mengatakan “keindahan ini adalah ciptaan, lalu seberapa kadar keindahan sang pencipta keindahan?, seberapa besar kadar kenikmatan memandang sang pencipta kenikmatan?”.

Cinta adalah hal yang paling sering saya tulis dan selalu ingin saya sebarkan. Namun masih terasa sulit bagi saya untuk merasa nyaman membaca tulisan-tulisan atau buku tentang roman. Banyak pandangan saya tentang cinta, justru dipengaruhi cara pandang filsafat, dan kemudian hal itu membawa saya pada tulisan-tulisan sufistiknya Jaluddin Rumi, Hakim Sanai, Rabiah Al Adawiyah, dan hikmah-hikmah tasawuf dalam Al Hikamnya Ibnu Athailah, atau kutipan-kutipan Abu Hasan Asy Syadzili dan ulama lainnya. Bagaimana saya menemukan “konsep cinta” yang luar biasa dari cara pandangnya para arif, dari cinta yang paling tinggi, melalui jalur ridha dan syukur. Cinta kepada Allah dan mencari ridhaNya adalah hal yang paling masuk di akal saya. Setelahnya, saya melihat bahwa kisah cinta, selain cinta kepada Allah, atau cinta yang tidak membawa kepadaNya, menjadi hal yang tidak menarik untuk diikuti dan dibahas.

Penjelasan tentang cinta, bukanlah cinta

Imam Al Qusyairi

Tidaklah seorang bisa mencintai sesuatu melainkan karena ilmu, karena mengenal. Tidak terbayang oleh kita bagaimana seorang mencintai sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Minimal mengetahui wajahnya, sifatnya atau bahkan hanya namanya. Dan semakin besar ilmu tentang apa yang dia cintai, semakin valid juga kecintaan itu.

Cinta adalah ruh kehidupan. Tanpa mencintai, berarti sudah berakhir hidup seseorang. Cinta jauh dari nafsu, dia tidak ingin memiliki, dia hanya ingin memberi kebaikan2. Maka tak heran jika qois berkata pada layla “cinta bukanlah harapan atau ratapan, meski tiada harapan aku akan tetap mencinta”.

Bagi penulis, cinta pada sesuatu yg salah itu tidak ada. Karena kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa atau pada apa. Yang ada hanyalah salah cara dalam mencintai, sehingga memunculkan kerusakan. Cinta selalu baik, jika ada cinta yg tidak membawa pada kebaikan barangkali ada yg salah dg pemahamannya. Lalu jika ada seseorang yg mencintai kegiatan yg buruk, seperti zina, mabuk, judi, dsb. Apakah itu baik?, yg perlu diketahui, seseorang yang berzina, mabuk, judi, mencuri, sejatinya tidak mencintai wujud kegiatan itu. Barangkali dia sebenarnya mencintai dirinya sendiri, hanya saja ingin memberi nikmat pada diri ini dengan cara yg salah. Cinta jauh dari nafsu, cinta tidak ingin memiliki, dia hanya ingin memberi kebaikan2. Hanya saja penamaan kebaikan itu lah yang harus dituntun/diluruskan dengan ilmu (sebagai cahaya).

Perasaan mungkin sulit, atau tidak bisa ditularkan lewat penjelasan2, lewat deskripsi atau syair2. Seseorang harus merasakan sendiri, barulah dia paham. Pengetahuan tentang keindahan tuhan atau surga mungkin sudah diajarkan dan sudah diketahui. Namun kita perlu contoh, butuh refleksi perasaan itu sehingga pengetahuan itu menjadi lebih sempurna. Saya tau bahwa tuhan itu maha indah, namun jika saya hanya mendapat pengetahuan itu dari penjelasan2 saja, tentu rasa kagum saya tidak se sempurna ketika saya memang sadar, ketika saya paham, dan saya merasakan sendiri apa indah itu, bagaimana indah itu, betapa nikmat melihat yg indah itu.

Misal: Dinda, adalah salah satu cara tuhan mengabarkan pada saya tentang betapa indahnya Dia. Penciptanya adalah tuhan yg sama dg yang menciptakan surga, dan saya sempat berpikir bahwa mengapa tuhan tidak menjadikan Dinda saja sebagai imbalan manusia untuk beramal saleh? Padahal seindah itu lo dia. Itu berati nikmat yg saya rasakan ketika melihat indahnya Dinda ini belum ada apa2nya dibandingkan dg indah yg Tuhan janjikan.  Betapa indahnya Dia, pencipta keindahan. Dan saya sampaikan lagi, bahwa jika wajah tuhan adalah yang paling indah-dan memang demikian, dan Dinda saja sudah membuat saya terbuai, tak terbayang betapa nikmat rasanya melihat wajah pencipta keindahan-yang juga pencipta kenikmatan.

Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan pemberhalaan dalam keterbatasan pemikiran

Atau bukan Dinda, ambil saja Jisoo Blackpink misalnya. Sebagian orang mengatakan cinta pada idol K-pop adalah kesesatan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Kemudian kita melihat kenyataan bahwa Jisoo ini sebagai seorang yg jauh dari tuhan, tidak sholat, mengumbar aurat dan tidak layak untuk menjadi panutan dan idola, pandangan itu tidak salah (bagi seorang muslim). Namun barangkali kita yang salah posisi, mengapa kita tidak melihat Jisoo-dengan sisi diri kita yg lain, kita yang esensial-sebagai hamba Allah. Sehingga tidak ada lagi benci, yg ada hanyalah cinta. Dalam hal ini, kebencian kita tidak akan mengubah apa2, sementara cinta menyempurnakan pujian kita kepadaNya.

NAMUN, argumen tersebut bukanlah pembenaran untuk melihat sesuatu yang tidak pantas sebagai isyarat pujian kepada Tuhan. Tetap, keimanan itu telanjang, dan pakainnya adalah taqwa!. Bagaimana kita mengaku waras tapi tidak berpakaian?.

He intorduced himself to us out of kindness; how else could we have known him? Reason took us as far as the door, but it was his presence that let us in

Hakim Sanai

Dan dapat penulis sampaikan bahwa cinta kepada manusia adalah pintu awal menuju cinta kepada Allah (seperti pernyataannya Ibnu Arabi). Namun selayaknya pintu, makna keberadaannya adalah dua : sebagai jalan, atau sebagai penghalang. Apabila kita berhenti maka manusia (pintu) hanyalah penghalang, namun dengan ilmu dan keimanan sebagai cahaya, dan hati yang bersih sebagai cermin yang mampu memantulkan keindahan kekasih. Maka seorang tersebut tidak akan berhenti dan hanya mengagumi pintu gerbang tersebut, karena di hatinya sudah terpantul keindahan kekasih sejati yang diharap-harapkan berada di baliknya.

Sebagai ruh kehidupan, tentu setiap orang yang hidup pasti mencintai, minimal mencintai dirinya sendiri dengan dibuktikan oleh makan dan minum untuk menjaga eksistensi dirinya, serta mencintai apapun yang bisa memberi kenikmatan pada dirinya baik lahir maupun batin. Dan sebagian perkataan para sufi, bahwa cinta yang paling hakiki adalah cinta Allah kepada makhluknya, karena cinta Allah kepada makhluknya tidak mungkin membawa modus tertentu. Berbeda dengan makhluk yang mencintai adalah demi dirinya sendiri. Tidak bisa kita mengatakan seseorang mencintai sesuatu demi orang lain, pasti demi dirinya sendiri. Seorang lelaki mencintai wanita cantik adalah karena memberikan kenikmatan pada matanya, atau hatinya menjadi sejuk ketika bersamanya, bahkan seorang ibu pun mencintai anakanya karena itu adalah anak”nya”-bukan karena diri anak itu sendiri. Begitupun ketika kita mengaku mencintai Allah dan Rosulnya, adalah demi diri kita sendiri.1

Maka Tuhan adalah cinta yang hakiki, Dia lah yang mencintai dengan sempurna, dan karenaNya lah kita mencintai dan dicintai. Sungguh beruntung orang yang hatinya diberi cahaya untuk melihat keindahan tuhan dan jatuh cinta padaNya.

Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepadaKu, niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta perlindungan kepadaKu, niscaya akan Aku lindungi

Mudah seorang mengatakan “aku mencintaimu karena Allah”, namun bagaimana mencintai karena Allah tanpa keberserahan diri pada kehendakNya?. Mencintai karena Allah hanya layak dikatakan oleh seorang yang berserah sepenuhnya kepada Allah, ridha dengan segala ketetapanNya. Menyerahkan hati dan hanya menghadapkan wajah kepada dzat yang satu. Tentu hal tersebut hanya dicapai dengan pembersihan hati seperti yang disampaikan pada pembahasan tentang hati sebelumnya. Oleh seorang yang bersih hatinya dan menerima cahaya kemudian memantulkannya, oleh orang yang bersih hatinya sehingga yang tersisa hanyalah fitrah Allah pada dirinya.  Sehingga bersamaNya dia mendengar, bersamaNya dia melihat, bersamaNya dia menyentuh, dan bersamaNya dia berjalan, sehingga karenaNya dia mencintai.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu

Cukup Engkau ya Allah, Engkaulah tujuanku dan ridhoMu lah yang kucari

Wallahu a’lam bi shawab.


1 Pernyataan pada paragraf ini saya pahami dari terjemahnya buku Rindu Tiada Akhir oleh Imam Al Ghazali, penerbit Serambi Ilmu Semesta. Bisa saja maksud yang saya tangkap meleset, tapi saya tetap yakin dengan argumen yang saya sampaikan.

Hal kelima: Hati

Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih

Wahai dzat yang membolakbalikkan hati, teguhkanlah hatiku ini pada agama Mu

Hati itu hanya satu, jika kau isi dengan suatu hal, maka hal yang lain akan pergi meninggalkan

Kedudukan hati adalah raja dan segala sesuatu selainnya yang ada pada kita merupakan pasukannya. Sehingga sebagai seorang muslim, termasuk kewajiban bagi kita adalah mempelajari masalah-masalah/penyakit yang bisa diderita hati. Agar kerajaan kita tidak diserang, jatuh, dan terjangkit oleh biang-biang kehancuran seperti sifat tamak, dengki, ujub, riya, sombong dan segala macam wabah lainnya. Serta menaklukkan mereka yang dapat menguasai dan mengambil alih kekuasaan hati seperti nafsu, dunia, dan manusia.

Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula  seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama hati

Bagaimana kita membahas hakikat hati secara utuh, sementara hati merupakan sesuatu yang lembut dan menjadi rahasia Allah bersama dengan akal, jiwa, dan ruh. Banyak tulisan, perkataan para alim yang membahas tentang hati, khususnya dalam kitab-kitab tasawuf, seperti karya-karyanya syaikh Abdul Qodir Al Jailani, imam Junaid, imam Abu Hasan asy Syadzili, imam Al Ghazali, imam Ibnu Jauzy, imam Al Qusyairi, dsb. Dan ketika kita ingin merangkum kemudian disampaikan, tentu rasanya malah menjadi sama saja dengan menulis ulang perkataan-perkataan atau tulisan mereka dalam memaknai hati, atau bahkan memang tidak ada cukup waktu untuk itu. Sebuah pembahasan yang rumit, runtut, panjang dan harus lengkap.

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”

Imam Al Ghazali dalam ihya’nya menyampaikan bahwa kita dapat memaknai hati dengan 2 makna, yang pertama adalah yang mewujud dan bisa kita lihat (jantung), dan yang kedua adalah sebagai lathifah rabbaniah ilahiah-yang menjadi pembeda antara kita dengan binatang-yang menjangkau apa yang tidak dijangkau oleh indra1. Dalam makna yang kedua ini lah hati memiliki keududukan yang sejajar dengan ruh, akal, dan jiwa. Dan kedudukan tersebut yang kemudian sering disinggung dalam al quran dan banyak hadits serta perkataan ulama. Sehingga dalam makna hati sebagai lathifah juga lah kita memahami kalimat; hati yang bersih, hati yang keras, hati yang mati, hati yang buta, dan lain sebagainya.  Dan hubungan makna yang satu dengan makna yang kedua merupakan hal rumit yang menjadi rahasia Allah.

sesungguhnya seorang hamba, ketika berbuat dosa, ada titik hitam di hatinya. Ketika dia meninggalkan dosanya, memohon ampun, dan bertobat, hatinya kembali bersih. Dan jika dia kembali (berbuat dosa), titik hitam terus bertambah di hatinya sampai menggunung, dan itulah yang menyelubungi hati (dari cahaya)

Sama sekali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka

Banyak yang mengajarkan bahwa hati kita ibarat cermin, yang apabila bersih maka bisa memantulkan cahaya, begitupun sebaliknya. Cahaya yang terpantul sesuai dengan lebar bidang yang bersih tersebut. Hati akan menerima cahaya dan merefleksikan apa saja yang ada dihadapannya secara jujur. Dosa akan memunculkan noda hitam di sana, sedangkan kelalaian akan membiarkan jamur dan karat tumbuh merusak pantulan kebenaran tersebut. Dengan hati yang bersih dan terawat manusia akan melihat segalanya secara jujur apa adanya. Melihat yang baik memang baik dan yang buruk memang buruk. Melihat dunia, harta, dan umur sebagaimana adanya, melihat diri sendiri dan orang lain sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga bisa menyebutkan “nama-nama benda” sebagaimana yang diajarkan oleh Allah kepada Adam secara benar.

Jika kalian tidak berbuat dosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub

Dengan hati yang jujur, maka manusia akan mudah menerima kebenaran bahkan yang semua orang tidak memahaminya/tidak relate dengan kebenaran tersebut. Seperti bagaimana dunia ini layaknya nenek tua yang bersolek, bagaimana sujud kepada Allah lebih nikmat daripada bermain-main dan bercanda gurau, mendapatkan ilmu dan hikmah lebih melegakan daripada mendapat uang yang banyak. Bagaimana nikmatnya berkumpul bersama orang-orang saleh, bagaimana senangnya seseorang yang melihat orang-orang yang dicintainya berada di jalan Allah, bagaimana seorang yang menunjukkan aib kita adalah orang yang menyelamatkan kita. Dan lain sebagainya.

Dengan cermin yang bersih, maka terpantul cahaya keindahan Tuhan dihatinya. Meski tidak sempurna karena keterbatasannya, itu sudah cukup untuk membuat hamba tidak lagi berpaling kepada yang lain. Dengan cermin yang bersih, kita dapat menjadi hamba yang ridho dengan segala ketetapan Tuhan, melihat segalanya sebagai mawar pemberian kekasih. Tidak penting apa yang diberi itu, karena pandangan tidak lagi berpaling dari wajah pemberinya.

Hingga dia melihat bahwa segala yang terjadi tidak pernah penting, karena yang datang kemudian tidak akan merubah yang awal. Dimanapun dia berada dan apapun yang terjadi, hatinya tetap tenang. Karena Tuhannya (yang keindahannya terpantul di cermin hatinya) adalah dzat yang tetap, sampai kapanpun, sebagai dzat yang maha pengasih maha penyayang, maha adil, maha bijaksana.

Siapa yang dunia menjadi keinginan terbesar dihatinya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya. Dan Allah jadikan kefakiran diantara kedua matanya. Dan dunia tidak mendatanginya kecuali yang dituliskan saja untuknya. Dan siapa yang akhirat itu menjadi niat utamanya, Allah akan kumpulkan urusannya untuknya, dan Allah akan jadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan dunia itu hina di matanya

Apakah orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima kedamaian, lalu mendapat cahaya dari Tuhannya, sama dengan orang yang hatinya telah membatu?

Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, menerima cahaya yang terang-memantulkannya-sehingga menjadi seorang hamba dengan hati yang selamat.

Karena tidak ada yang lebih indah darimu, kuberikan saja cermin ini untukmu


1Diambil dari Intisari Kitab Ihya Ulumuddin, diringkas sendiri oleh Imam Al Ghazali, diterjemahkan oleh Junaidi Ismaiel, cetakan I 2016: penerbit Qalam.

Hal keempat: Khilafiyah

Sama seperti pada judul aqidah, di sini saya tidak akan membahas tentang masalah-masalah khilafiyah itu sendiri, karena memang bukan tempatnya, dan juga saya memang bukan orang yang tepat untuk itu. Sebenarnya judul yang lebih sesuai mungkin adalah bagaimana menyikapi khilafiyah, atau bagaimana saya pribadi melihatnya. Namun saya memilih judul-judul yang lebih universal dan umum (tidak spesifik) dengan maksud mengabarkan bahwa apa yang ada di sini saya niatkan sebagai pemicu untuk mempelajari bahasan yang lebih utuh itu, atau judul itulah pelajaran yang sebenarnya ingin saya pribadi pelajari dan sampaikan secara runtut. Di mulai dari bagaimana memandang ilmu dan ahli ilmu; maka teruslah menuntut ilmu dan sempurnakan ibadahmu dengannya, pentingnya aqidah sebagai pondasi; maka perkuatlah tauhid dan lihatlah dunia dengan aqidah ahlussunnah, kemudian kita senggol pemikiran yang menjadi isu aqidah itu (agnostik dan sekularisme); silahkan gunakan akal sehatmu dan berhati-hatilah, dan sekarang tentang khilafiyah; belajarlah sebagai awal jihadmu di jalan Allah dan merunduklah. Semoga kita termasuk orang yang ridho, dan Allah pun ridho kepada kita, bersamaNya kita mendengar, bersamaNya kita melihat, bersamaNya kita menyentuh, dan bersamaNya kita berjalan.

Baik untuk kita sadari bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah warna dalam agama. Perbedaan pendapat adalah bukti hidupnya ilmu dan pemikiran, apabila ada dua orang dan tidak pernah berbeda pendapat, maka yakinlah bahwa hanya satu saja di antara mereka yang berpikir. Dapat disebabkan metode pengambilan hukum yang berbeda, perbedaan kaidah ushul yang digunakan, intuisi kebahasaan dalam membaca suatu nash, sampai kondisi alam yang berbeda dan lain-lain. Terlebih lagi, selisih perbedaan zaman kita dengan masa kenabian sudah begitu panjang dan melahirkan banyak generasi dengan segala permasalahannya.

Jangankan masalah yang ranting, yang pokok saja-seperti sholat, wudlu, tentu kita tahu berbeda pendapat antara madzhab yang 4. Dengan sumber nash yang sama, Imam Malik dan Imam Hambali menyebutkan 7 rukun wudlu, Imam Syafi’i menyebutkan 6, sedangkan Imam Hanafi 4. Bahkan meskipun Imam Malik dan Imam Hambali sama menyebut 7 pun mereka berbeda, di mana Imam Hambali mewajibkan tertib sedangkan Imam Malik mewajibkan anggota wudlu itu digosok1 2. Rukun wudlu adalah sebuah produk dari ilmu fiqih, sedangakan syariat islam(nya) adalah wudlu itu sendiri-yang merupakan perintah Allah dalam al quran. Kita ambil perbedaan dalam wudlu itu dari sisi tertib dengan bahasan sederhana;

Nah, dari nash dalam surat al maidah; 6 tersebut. Secara sederhana kita dapat memahami pendapatnya Imam Malik bahwa antara rukun yang satu dan yang lain itu dihubungan dengan huruf “wawu”, atau dalam bahasa indonesia kurang lebih artinya sama dengan konjungsi “dan”. Yang mana secara kaidah berarti tidak menunjukkan maksud keruntutan3. Sehingga tidak ada kewajiban bagi kita untuk tertib, dan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib merupakan pantangan bagi ahli ilmu, karena mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab menjaga hukum Allah-ilmu-sunnahnya rosulullah. Sedangkan Imam Syafi’i melihat redaksi “usaplah kepalamu” berada diantara anggota wudlu yang mendapat perintah “basuhlah”; dimana menjadi satu kebiasaan dalam bahasa, adalah menggabungkan satu yang sejenis, atau dengan kata lain “tidak mungkin tidak ada perintah tertib, jika membasuh kaki diletakkan terpisah dengan wajah dan tangan padahal mereka sama-sama dibasuh”4. Jika tidak ada perintah runtut maka kira-kira redaksinya akan berbunyi “basuhlah wajahmu, dan tanganmu (juga dibasuh) sampai siku, dan kakimu (juga dibasuh) sampai mata kaki, (baru kemudian) dan usaplah kepalamu”, namun kenyatannya tidak begitu sehingga secara implisit dalam nash tersebut juga menunjukkan rukun tertib. Wallahu a’lam bi showab.

Terlepas dari nash dalam surat al maidah di atas, tentu pendapat kedua Imam besar di atas juga diperkuat dengan dalil-dalil lain yang tidak perlu saya sampaikan. Kita bukan mau berfokus membahas pendapat mana yang lebih kuat, saya hanya ingin memberi contoh sederhana bagaimana satu sumber yang sama bisa memunculkan produk fiqih yang berbeda. Dan memang selain berdasarkan dalil dalam al quran, kita tahu bahwa ada sumber lain untuk menetapkan suatu hukum; yaitu hadits, ijma, dan qiyas. Atau juga ada sebagian yang menggunkan; maslahah mursalah, saddu ad dzariah, istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf, dan syar’u man qoblana.

Berbeda beda dalam ber-fiqih itu lumrah karena memang produk manusia yang sifatnya tidak mutlak, yang masalah adalah apabila kita menjalankan syariat tanpa mau mempelajari ilmu fiqih (asal-asalan) dan menjadi orang yang tidak mau tahu, atau sebaliknya merasa tahu padahal tidak belajar. Telah menjadi kewajiban bagi kita adalah mempelajari ilmu hal, ilmu yang berhubungan dengan perilaku kita sehari hari sebagai seorang muslim, seperti wajib dan sunnah sholat, rukunnya, hal-hal yang membatalkan dsb. termasuk misalnya seorang pedagang berarti harus tahu ilmu, harus tahu kewajiban dan larangan terkait berdagang seperti syarat jual beli, larangan riba, larangan gharar dsb. Dan semakin banyak tahu, semakin luasnya wawasan seseorang, tentu tingkat toleransinya terhadap perbedaan akan semakin besar juga. Bagaimana kita selama ini tahu bahwa hubungan ke empat imam madzhab (madzhab besar dalam ilmu fiqih) adalah hubungan guru dan murid, dan bagaimana mereka saling menghormati pendapat satu sama lain.

Kita sebagai seorang yang awam, seorang yang berkedudukan sebagai murid, tentu harus memandang perbedaan pendapat para ahli ilmu, para syaikh, guru-guru kita, dengan cara pandang positif-dalam artian optimis dan mendahulukan sangkaan yang baik. Jangan sampai kita melihat seorang yang berbeda dengan kita itu kemudian secara sepihak melabelinya sebagai tidak tahu, sebagai bodoh, kalah alim, cinta dunia, ahli bid’ah apalagi sebagai munafik bahkan sampai kafir. Dan tuhanku adalah dzat yang maha pengampun lagi maha mensyukuri, maha mengetahui lagi maha bijaksana, dan sungguh luas rahmatNya. Semoga kita dijauhkan dari kerasnya hati dan sempitnya pemikiran, semoga kita menjadi seorang yang bisa melihat secara bijak mana pendapat yang baik, dan mana yang jauh lebih baik. Dan tentu kita semua sepakat bahwa ijtihad yang salah, adalah termasuk kesalahannya orang yang dicintai5. Sedangkan berburuk sangka, dengki, adalah keburukan mutlak bagi diri sendiri dan orang lain. Terlebih jika kita yang awam ini berburuk sangka kepada orang yang belajar bertahun-tahun, menghabiskan umurnya untuk memperjuangkan agama, meneliti hukum-hukum Allah dan menyampaikannya kepada umat.

Ulama adalah para pewaris nabi

Jika ada yang berpikir, “sumber hukum islam adalah al quran dan hadits, apabila sumbernya sama tentu para ulama tidak akan berbeda pendapat, jadi sebab adanya ikhtilaf antara mereka hanyalah kepentingan nafsu dunianya masing-masing, sedangkan nabi selalu jujur dan benar kita harus kembali kepadanya”. Baik untuk saya sampaikan lagi, bahwa menuntut ilmu adalah jihad; memperjuangkan agama dari bid’ah dan keraguan. Menegakkan syariat islam yang murni bersumber pada al quran dan hadits adalah hal yang baik dan wajib dilakukan. Namun perlu diingat bahwa ada kemungkinan lain yang luput dari cacatnya pengelihatan kita; kita melihat apa yang difatwakan para ahli ilmu sebagai suatu bid’ah-seolah bertentangan dengan “bacaan” kita, bukan karena memang mereka menyimpang, namun pengetahuan kita lah yang ternyata hanya secuil, hanya satu lembar buku itu pun tanpa guru. Syarat mutlak bagi kita untuk berbeda pendapat dengan para alim (melakukan kritik terhadap pemikiran atau istinbath hukum yang diambil), adalah belajar, setidaknya referensi, level keilmuannya itu sepadan. Itu pun belajarnya juga harus kepada para alim, tidak bisa kita membaca kitab shohih bukhori kemudian melabeli diri sebagai seorang yang belajarnya dari rosulullah. Kita harus mengingat siapa kita, tahu diri, dan bijak sebagai seorang yang awam.

Terkait hal ini pikiran liar penulis juga pernah bertanya, “Saya yang tidak pernah benar-benar belajar agama ini, membaca sedikit hadits dengan kriteria shohih kemudian menyebut seseorang melakukan bid’ah, padahal orang itu mengamalkan ilmu yang didapat dari gurunya. Dan gurunya memiliki sanad keilmuan sampai kepada rosulullah. Jangan-jangan, tindakan menuduh orang melakukan bid’ah (seperti yang saya lakukan ini) lah justru yang merupakan bid’ah itu sendiri?”

Allah tidak akan membebani kita itu melebihi kesanggupan kita. Jika memang belum tahu maka yasudah, itu bukanlah persoalan yang dibebankan untuk kita, diam lebih selamat. Jika itu pokok dan ingin memperbaiki, maka belajar dan bekalilah diri dengan ilmu. Jika tidak bisa membaca isi hati orang lain-dan memang tidak akan bisa, maka keselamatan adalah berbaik sangka kepada ahli ilmu. Kita akan diberi pahala dari apa yang kita usahakan, dan pengadilan dari dosa yang telah kita kerjakan. Maka marilah kita selalu berusaha dengan terus belajar, beramal dan memperbaiki diri, serta marilah kita hindari perbuatan dengki, prasangka yang buruk, mencaci, dan segala perbuatan lain yang jauh dari sifatnya orang arif.

Wahai tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir


1Aminullah Furqoni, Lc., “Rukun Wudlu dalam Empat Madzhab”, http://www.kajiankampoengsyariah.com/2017/08/rukun-berwudhu-dalam-4-madzhab.html (diakses pada 28 September 2021)

2“Wudlu Menurut Empat Madzhab”, https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/22/wudhu-menurut-empat-mazhab/ (diakses pada 28 September 2021)

3Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd (Bermadzhab Maliki) yang ditahqiq oleh Ahmad Abu Al Majid, disebutkan bahwa terkadang wawu digunakan untuk athaf bermakna urut, dan terkadang tidak mengandung makna urutan, hal ini jelas dalam bahasa arab. Karena itulah ulama nahwu (gramatika) dalam hal ini terbagi dua pendapat; ulama Bashrah berpendapat bahwa wawu tidak mengandung urutan, ia hanya mengandung makna menyatukan, sementara ulama Kufah menyatakan bahwa wawu mengandung makna urutan.

4Ustadz Husnul Haq, “Beda Pendapat Ulama Soal Tertib dalam Wudlu”, https://islam.nu.or.id/post/read/100807/beda-pendapat-ulama-soal-tertib-dalam-wudhu (diakses pada 28 September 2021)

5Dalam satu kesempatan KH. Ahmad Bahaudin Nursalim pernah menyampaikan dalam salah satu majlis ilmunya, bahwa termasuk kesalahan orang yang dicintai adalah ketika Nabi Adam “mencicipi” buah (yang secara umum kemudian diistilahkan) khuldi, dan kemudian Allah menegurnya serta memberikan kalimat taubat kepadanya (فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ). Bagaimana kita melihat keluarnya Nabi Adam dari surga ibarat anak yang keluar rumah, dibekali handphone dan uang oleh orang tuanya, dan jika ingin kembali pulang diajarakan bagaimana caranya. Yang kemudian dijelaskan juga bagaimana Nabi Adam memakan buah tersebut karena tidak menyangka, ada makhluk (iblis) yang bisa bisanya berkata bohong dengan membawa agungnya nama Allah.

Hal ketiga: Agnostik dan Sekularisme

Saya menggabungkan agnostik dengan sekularisme menjadi satu judul bahasan, karena secara pribadi melihat bahwa keduanya adalah pemikiran yang erat hubungannya dengan mereka yang mensifati diri sebagai orang “open minded”. Dan keduanya merupakan hal yang sangat dekat dengan generasi saya, generasi millenial dan generasi Z. Saya melihat bahwa orang2 ini biasanya memiliki pemikiran yang tajam dan kritis, sehingga tidak mudah menerima sesuatu secara mentah termasuk paham agama. Namun di sisi lain pemahaman agama yang “ilmu” bukanlah hal yang mudah untuk ditemui di tengah masayarakat luas, serta tanpa dasar tauhid kita hanya bisa melihat bahwa rutinitas keagamaan merupakan hal yang tidak mudah diterima akal. Orang harus dipaksa melaksanakan ritual bernama sholat misalnya, harus percaya pada sesuatu-yang tidak tahu harus bagaimana-pokoknya harus percaya, siapa yang taat akan dimasukkan ke surga, siapa yang “kafir” menjadi ahli neraka. Se-kerdil itu lah agama yang dapat kita lihat tanpa dasar ilmu.

Pribadi penulis beranggapan bahwa perkembangan kedua pemikiran ini muncul dari penolakan mereka terhadap rutinitas keagamaan yang tampak seolah mengekang, kolot, dan membutakan pengikutnya. Mereka banyak melihat kenyataan bahwa orang yang beragama merasa terbebani dengan kegiatan peribadatan yang mereka buat sendiri, yang pelaku ibadah itu dapat dari ajaran orang tua atau nenek moyangnya tanpa tahu maksud dan esensinya. Kita mengetahui bahwa di Eropa pada kisaran abad ke-15 agama bahkan dianggap menjadi hal yang menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian muncul istilah renaissance dan aufklärung di pelajaran sejarah kita (bukankah hal ini sudah terjawab di pembahasan sebelumnya, dimana agama ini mendorong iklim belajar dan menjunjung ilmu pengetahuan?).

Tanpa ilmu, agama hanya akan menyisakan bentuk, yang tersisa hanyalah dalil-dalil tanpa maksud

Dan termasuk kesalahan mendasar yang mudah kita temui adalah bagaimana generasi ini menyebut seseorang itu “alim”. Seorang alim atau ahli ilmu adalah mereka yang belajar dan menguasai ilmu, sehingga bisa menjelaskan hukum-hukum Allah. Banyak orang yang menilai ke aliman seseorang Ini dari sisi bentuk, mereka yang banyak terlihat melakukan ritual peribadatan disebut alim dan mulai ditanya tentang agama. Dan kecelakaan adalah ketika mereka yang tidak memiliki kompetensi ini malah menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan isi kepala mereka sendiri, terlebih dengan meyakinkan, dengan bahasa yang fasih.

Sudah menjadi kodrat  kita apabila menemukan kebenaran itu rasanya nikmat, ingin menyebarkannya ke orang lain agar mereka semua tahu, dan jika orang lain tidak setuju maka batin kita berontak. Seperti saat kita menemukan hal baru bernama madu ketika manusia lain hanya meminum air laut. Maka apabila orang lain yang belum pernah melihat madu ini mengejek kita yang meminumnya, tidak percaya bahwa rasanya manis-karena memang mereka tidak tahu apa itu manis, tentu naluri kita akan menyerang balik (geregetan, gemes), ingin menjelasakan bagaimana sih manis itu, bagaimana kita itu selama ini bodoh lo, kemudian memaksakan keyakinan bahwa madu itu manis dan air laut itu asin. Jika cara menyampaikannya salah, alih2 mereka percaya, justru malah akan membenci kita, risih, bahkan tidak hanya itu lebih parah lagi mereka juga turut membenci madu yang kita bawa sehingga semakin jauh dari kebenaran (belum lagi jika seorang mencoba menjelaskan madu, dengan sesuatu yang tidak ada pada madu itu sendiri). Maka dari itu marilah kita menjadi seorang yang terus belajar, menjadi seorang yang berilmu, agar bisa dengan sempurna mengamalkan seruan; “Ajaklah menuju jalan tuhanmu itu ” بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ” dengan bijak (hikmah), dan nasihat yang baik”. Kemudian “وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ” hadapilah mereka (dalam perdebatan) dengan (pondasi/argumen) yang paling bagus”.

Belajar adalah jihad; memperjuangkan agama dari bid’ah dan keraguan

Kembali pada pembahasan agnostik dan sekularisme. Menurut pribadi penulis, seorang yang agnostik (orang yang berlepas tangan dari kemungkinan keberadaan atau ketiadaan tuhan, atau orang yang percaya tuhan namun menganggap agama itu tidak realistis) adalah seorang yang pemikirannya menarik, memiliki mindset dasar bagus, namun proses berpikirnya belum selesai. Itu adalah awal runtutan berpikir dalam menuju kesempurnaan iman. Apabila kita mengetahui seorang atheis mengatakan bahwa “tidak ada tuhan”, maka seorang agnostik adalah orang yang sudah menemukan pengecualian di sana. Dan memang rukun iman yang pertama adalah mengimani keberadaan tuhan dahulu, siapa tuhan atau tuhan yang mana yang benar2 tuhan. Apakah tuhan yang manusia; makan-minum-tidur atau tuhan yang tidak sama dengan makhluk?, apakah tuhan yang dua-tiga-empat atau tuhan yang satu dan tiada sekutu bagiNya?, tuhan yang maha melihat-mendengar-berbuat apa yang dikehendaki-atau tuhan yang dirawat dan dibersihkan?, tuhan yang maha suci maha mulia atau tuhan yang merupakan seorang anak dan tuhan yang memiliki anak?. Sekali lagi, baik untuk saya sampaikan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Dan kita semua tentu berharap bahwa orang-orang yang merdeka dalam berfikir ini, mereka yang menolak taqlid, mereka yang menyebut diri sebagai agnostik, mereka tidak berhenti dalam proses berfikirnya. Semoga mereka terus mencari, mencari, dan pada akhirnya bisa menemukan “siapa”, dari “kecuali” dalam pernyataan “tidak ada tuhan” itu.

Berkaitan dengan sekularisme, seharusnya juga sudah bisa terjawab dengan mempelajari aqidah dan memaknai-mensifati hidup secara benar. Bagaimana agama adalah jalan nafas hidup kita, memisahkannya dengan kehidupan sehari-hari itu keluar dari maksud kita diciptakan. Agama bukan sebatas ritual-ritualnya, tentu lebih dari itu agama juga membentuk sikap sosial, agama mengatur -dalam artian berperan dalam menciptakan pola perilaku-kehidupan kita dalam bermasyarakat, dan dalam mengambil keputusan-keputusan.

Orang yang beranggapan bahwa paham agama harus dipisahkan dengan kehidupan dunia, “agama ya akhirat, urusan dunia tidak usah membawa agama” adalah peng-kerdilan dari ajaran keagamaan. Seolah ilmu agama hanya terbatas pada bagaimana itu sholat, wudlu, dan lain sebagainya. Padahal agama adalah “ilmu untuk bersujud kepada tuhan” baik ketika sholat, bekerja, berdagang, bermain, sendirian, maupun saat berada ditengah-tengah masyarakat. Pengertian beragama dalam berdagang bukan berarti menjual alat sholat, namun berdagang secara jujur, mengikuti teladan nabi, menempatkan diri sebagai seorang yang selalu berada dalam kuasa Allah, dsb. Pengertian beragama dalam bermain bukan hanya berarti dengan bermain tebak nama nabi dan rosul, tapi juga dengan bermain-melepas penat, ngopi, menikmati hidup dengan mengingat bahwa Allah itu baik dan banyak hal menyenangkan itu merupakan hal yang mubah dan yang haram itu sedikit, dsb. Atau dalam jangkauan yang lebih luas lagi, beragama dalam memimpin masyarakat majmuk-plural seperti di Indonesia, bukan berarti harus mengganti peraturan peraturannya dengan hukum-hukum khusus yang bersumber pada satu agama yang dianutnya, namun lebih pada menjalankan tanggung jawab pemerintahan dengan amanah, dengan berlaku adil, dan yang penting juga adalah menjaga batasan, mengeluarkan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariat agama, dsb. Lillahitaala. Wallahu a’lam bi shawab.

Hal kedua: Aqidah

Selain memang bukan tempatnya, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang ilmu aqidah itu sendiri karena akan menjadi pembahasan yang panjang nantinya, namun lebih pada bagaimana pribadi penulis beraqidah. Di tengah-tengah zaman yang bisa dibilang sudah banyak ditemui bid’ah, fitnah ini, semoga kita menjadi mukmin yang selalu berada di jalan yang lurus, yaitu jalan orang2 yang Allah berikan nikmat kepada mereka. Jalannya para nabi, jalannya para kekasih Allah, jalannya para salafus shalih, jalannya para alim, para abid.

Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah

Sebagai seorang ahlussunnah, tentu kita tahu bahwa aqidah kita jangan sampai keluar dari dasar-dasar yang telah digariskan dan diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi sebagai dua madzhab besar dalam ilmu tauhid. Yang menjadi ciri pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiah adalah metode berpikir yang tengah-tengah, moderat. Ajaran yang tidak mendewakan akal, namun tidak juga menganggap bahwa hujjah dalam agama itu harus mengingkari atau menolak ilmu logika, atau akal sehat. Aqidah yang bersumber pada dalil naqli ditegakkan dengan bukti-bukti rasional (aqli) yang bisa diterima oleh para filsuf (ilmu kalam atau ilmu mantiq)1. Karena memang pada dasarnya kebenaran akan menang dan memiliki argumen paling kuat, dan agama ini adalah agama yang akal akan merasa nyaman menerimanya. Tidak ada paksaan dalam beragama, karena memang telah jelas mana yang benar dan yang buruk pondasinya, atau bahkan memang sifat kebenaran itu pada dasarnya lebih jelas dari pada kesalahan/keburukan.

Sebagai seorang mukmin yang posisinya bukan/tidak diwajibkan untuk memperdalam ilmu filsafat teologi, ilmu kalam atau semacamnya, ada baiknya bagi kita untuk menghindari berpikir terlalu jauh (secara mandiri) dalam membangun argumen-argumen tauhid yang berlebihan. Karena logika individu dan bekal keilmuan yang belum mumpuni akan menjadi awal ketergelinciran. Bagi pribadi yang awam ini, sebaiknya lebih banyak memikirkan tentang kebesaran tuhan ketimbang memikirkan dzat tuhan itu sendiri.

Merupakan jalan keselamatan bagi kita untuk mengikuti ajaran guru-guru kita. Sudah merupakan fitrah bagi kita untuk menerima kebenaran tanpa membutuhkan argumen atau dalil-dalil yang rumit. Tuhan itu satu, dzat yang esa, tempat kita memohon, tidak sama dengan makhlukNya, maha suci dari pensifatan anak dan sifat diperanakkan, dan tidak ada bandingan-sekutu bagiNya. Tidak pernah pribadi penulis menemukan deklarasi ketuhanan yang lebih kuat dan jelas dari pada itu. Yang kita mengenal namaNya, sifat-sifatNya, hukum-hukumNya melalui seorang utusan yang dipilih dari golongan kita sendiri, junjungan yang “manusia”, seorang yang jujur baik perbuatan maupun perkataannya, yang mulia akhlaknya, sebaik-baik pribadi yang bisa diteladani, Nabi Muhammad ﷺ. Yang ajarannya merupakan penyempurna dari apa yang telah dibawa oleh nabi-nabi dan rosul sebelumnya.

Ilmu yang sempurna datangnya dari ahli ilmu, karena mereka menghafal dari sebaik baik yang mereka dengar, dan menyampaikan dari yang sebaik baik mereka hafal2.

Dengan ke tauhidan, meski cukup dengan dasar-dasar aqidah saja, kita sudah memiliki bekal luar biasa untuk menghadap Allah. Keimanan adalah nikmat tertinggi yang bisa kita terima. Mesti diingat bahwa menyadari, mengakui kebenaran akan kebesaran tuhan, telah menjadi esensi telinga, mata, hati, lisan, dan keberadaan kita. Itu lah yang menjadi pembeda kita dengan makhluk lain, yang memang datang ke dunia dengan cara tasbihnya masing2. Bumi adalah tempat kita bersujud, air adalah untuk kita bersuci, makanan, tumbuhan dan buah2an adalah untuk menjaga eksistensi kita agar tetap bisa bernafas-menyaksikan kebesaran tuhan melalui segala yang dapat kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Dan harus selalu diingat bahwa kita datang dengan maksud penciptaan yang paling mulia, sehingga bisa mensifati dunia ini sesuai dengan arti penciptaannya. Seperti para penggembala, mereka bersama-sama dengan ternaknya di padang rumput, namun keduanya berbeda, mereka tetap ingat siapa dirinya, bukan malah ikut makan dan tidur atau turut menjadi domba bersama ternaknya.

Ada satu hal di dunia ini yang kamu tidak boleh lupa, jika kamu melupakan segalanya tapi ingat yang satu-maka kamu akan selamat. Jika kamu ingat dan memahami segalanya tapi tidak dengan yang satu-seolah kamu tidak pernah berbuat apa-apa

Jalaluddin Rumi, dalam Fihi ma Fihi

Dan tuhanku adalah dzat yang maha pengampun lagi maha mensyukuri. Semoga kita termasuk orang-orang yang (dijadikan) kelak mengakhiri ujian di dunia ini dengan membawa nikmat iman islam, inshaallah.


1Dalam buku “Kisah Hidup dan Pemikiran Sang Pembaharu islam” karya Shalih Ahmad Asy Syamsi, dikatakan bahwa Al-Asy’ari membangun bukti-bukti rasional dan teologis untuk membela ahlussunnah. Ia mendebat Mu’tazilah dan para filsuf serta mempreteli aqidah mereka satu persatu dengan bahasa logika.

2Kalimat ini saya dengar dari guru saya, (tapi aku lali iku beliau nukil tekan endi opo piye :), lek ga salah kitab ta’lim opo ya)