Tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah yang maha tinggi lagi maha agung
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dan segala puji bagiNya tuhan semesta alam. Semoga Allah jadikan hati kita adalah hati yang senantiasa menghadap, kokoh bertasbih memuji mengagungkan namaNya.
Seperti pada judul-judul sebelumnya, isi dari tulisan ini hanyalah curahan hati dan kepala penulis sebagai pengantar dari judul universal yang diangkat. Bukan mengajarkan bagaimana untuk istiqomah, namun lebih kepada mengajak untuk sama berusaha, serta mengakui betapa penting dan berat bagi pribadi ini menjalankannya.
Tidak ada tuhan selain Engkau, maha suci Engkau dan sungguh kami termasuk orang yang dzalim
Sebelum saya menyinggung istiqomah, atau konsistensi, atau keteguhan diri, akan baik untuk saya sampaikan bahwa saya termasuk orang yang berpendapat, atau memegang pendapat bahwa pola pikir manusia-kondisi batin seseorang (seorang mukmin khususnya) dapat berada pada dua kedudukan, yaitu asbab dan tajrid.
Saya pahami dan sederhanakan secara kasar bahwa seorang yang berada pada kedudukan asbab adalah mereka yang alam bawah sadarnya meyakini bahwa untuk memperoleh sesuatu maka kita harus berjuang secara riil (berurusan dengan dunia) karena memang begitulah sunnatullah. Sedangkan seorang yang berada pada kedudukan tajrid adalah mereka yang alam bawah sadarnya rela bahwa urusan mereka di dunia ini sudah ada yang mengatur, sehingga yang terpenting adalah rasa ridha dan syukur. Dan kedua kondisi tersebut adalah sesuatu yang tidak dibuat buat olehnya, sehingga kedudukan seseorang itu asbab atau tajrid sebenarnya tidak bisa dilihat dari sisi lahir.
Istiqomah lebih baik dari pada seribu karomah
Seorang yang berada pada kedudukan asbab (hukum kausalitas sebab akibat) maka menjalani hidup ini dengan berpegang pada kenyataan hukum sebab akibat atau keteraturan yang Allah ciptakan di dunia ini. Seperti seorang yang ingin kaya maka harus bekerja, seorang yang ingin berhasil maka harus berjuang, ingin sembuh maka harus berobat, dan seterusnya. Sedangkan seorang yang berkedudukan pada sisi tajrid maka akan menjalani hidup ini dengan bersandar kepada janji Allah dan eksistensi dirinya tidak mengharuskannya untuk menegakkan hukum kausalitas. Karena memang rizki yang telah ditetapkan untuk kita pasti akan datang dengan sendirinya, apapun yang terjadi tidaklah lagi dirasa penting karena Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu, sakit yang Allah berikan akan melunturkan dosa-dosa kita sehingga sakit lahir itu terasa nikmat pada batinnya seorang tajrid, dan seterusnya seperti yang telah banyak kita bahas sebelumnya.
Keinginanmu untuk tajrid padahal Allah tempatkan pada kedudukan asbab adalah kedirian/egoisme yang samar. Sedangkan keinginan untuk asbab padahal Allah telah meletakkanmu pada kedudukan tajrid adalah ketergelinciran dari itikat mulia.
Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam
Bercita-cita menjadi seorang salik yang sibuknya hanya berdzikir, membersihkan hati, menyendiri di antara manusia, menjauhkan diri dari dunia, beruzlah, itu baik dan mulia sebagai jalan menuju Allah. Namun di sisi lain memperjuangkan agama di tengah masyarakat, menebarkan kemanfaatan bagi sesama manusia, dibutuhkan oleh masyarakat luas, menjadi penggerak roda perekonomian, itu juga merupakan kebaikan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Di mana pun Allah tempatkan diri kita, kita harus menjalankan tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya sesuai dengan adab syariat dan hakikat. Istiqomah-itulah yang utama, karena fokus menjalankan apa yang Allah inginkan dari diri kita lebih mulia dari keinginan egois kita pribadi, yang risau terhadap penempatan pada kedudukan/keadaan tertentu. Sehingga yang harus digaris bawahi adalah bahwa tujuan kita hanyalah ridhanya Allah, bukan kedudukan yang Allah berikan pada diri kita.
Sesungguhnya di antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh sholat, puasa, haji, dan umroh, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam mencari nafkah
Sebagai seorang yang setengah-setengah seperti kita, tentu bisa saja tidak selamanya termasuk pada kedudukan asbab atau sebaliknya tidak juga kokoh pada kedudukan tajrid. Meskipun tentu tidak boleh menutup kemungkinan bahwa bisa saja kita nanti akan ditempatkan di satu kedudukan tersebut sampai akhir perjalanan kita, atau bahkan tidak pada kedua kedudukan tersebut sampai akhir perjalanan nanti1. Kita adalah makhluk yang lemah, yang sekuat apapun tekadnya tidak akan pernah bisa merobek dinding takdir.
Sangat mungkin Allah memindah kedudukan kita pada asbab menuju tajrid-ataupun sebaliknya-di saat yang tidak kita sangka. Seorang yang Allah jadikan dirinya berada pada kedudukan asbab maka harus menegakkan hukum sebab akibat karena Allah, begitu pun sebaliknya seorang yang diberikan kedudukan tajrid haruslah mencukupkan diri dari problematika duniawi. Misalnya seorang dokter yang menangani pasien, tidak bisa dia mengatakan pada si pasien untuk cukup bersabar dan membiarkan saja rasa sakitnya agar dosa-dosanya terus diampuni, atau seorang gubernur yang ketika daerahnya terjadi krisis pangan kemudian memberi solusi pada warganya untuk bertaubat agar rizki mereka datang dari arah yang tidak disangka-sangka, tentu hal tersebut adalah sikap yang tidak relevan dengan kedudukan yang Allah berikan kepadanya. Begitupun seorang alim tentu tidak layak untuk kemudian mengajar dan memperbanyak murid dengan tujuan agar menambah penghasilannya, seorang sufi yang kemudian mengejar seorang wanita dengan tanpa memperhatikan adab seorang salik (misalnya memaksakan kehendak untuk menikahi) dengan dalih dia wanita salehah, seorang yang sudah memiliki penghasilan tetap namun kesendiriannya hanya digunakan untuk pusing masalah perutnya saja, dsb.
Bagi seorang yang belum kokoh dalam satu kedudukan tertentu, sikap yang tidak sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan tersebut adalah suatu kedzaliman yang samar, namun disisi lain penyesuaian terhadap perubahan kedudukan yang Allah berikan dapat menjadi ujian bagi kita untuk istiqomah dalam menghadapkan hati kita kepada Allah. Karena hal tersebut dapat membolak balikkan kondisi hati seorang hamba yang begitu rapuh dan mudah terombang ambing ini. Seorang yang biasanya menyendiri dalam dzikirnya kemudian harus berurusan dengan masyarakat banyak sehingga muncul berbagai penyakit hati, seorang yang terus berurusan dengan masyarakat banyak mulai mengakui daya dan upayanya sendiri sehingga melupakan kodratnya sebagai hamba dan lalai dalam urusan akhirat.
Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin
Jangankan mereka yang berpindah pindah kedudukan, hati yang sudah teguh menghadap kepada Allah dalam satu kedudukan pun, biasanya akan ada rintangan/ujian yang khas lahir dari kedudukan tersebut. Rintangan bagi seorang yang sudah teguh berada pada kedudukan tajrid biasanya tidak jauh jauh dari penyakit ujub; merasa dirinya lebih mulia dari orang lain, hasud; membenci kebaikan yang diterima orang lain bahkan mengutuk orang lain. Sedangkan bagi seorang yang berada dalam kedudukan asbab biasanya tidak jauh dari penyakit lalai oleh dunia, syahwat, riya, sombong, iri dan berbagai hal yang membutakan hati.
Jadi bisa kita bayangkan betapa hinanya seorang yang Allah berikan kedudukan tajrid, harus berpindah pada kedudukan asbab kemudian bergelut dengan urusan dunia sebentar saja dan dihatinya malah dibutakan oleh nafsu. Atau betapa tidak tahu dirinya seorang yang berkedudukan asbab kemudian diberi kesempatan menggunakan hartanya untuk melaksanakan haji, hatinya malah menjadi ujub, merasa paling mulia dan harus dicium tangannya oleh masyarakat.
Melihat begitu lemahnya diri kita dan betapa banyak serta berat ujian untuk meniti jalan menuju kemuliaan abadi, maka dapat kita pahami bahwa istiqomah adalah sesuatu yang diperjuangkan-bukan semata-mata ada pada seseorang dengan kedudukan tertentu. Sudah sekian riwayat tentang seorang yang hidup mulia kemudian suul khatimah, jangankan manusia-kita pun mendengar kisahnya Harut dan Marut yang kemudian tergelincir karena hawa nafsu yang diberikan pada mereka. Ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta kemauan kuat untuk terus berada di jalan Allah adalah bekal mendasar untuk menegakkan istiqomah. Dengan kedua bekal tersebut maka kita telah membawa senjata untuk membentengi diri dari bahaya yang datang atau setidak tidaknya tersadar untuk kembali ke jalan kebenaran ketika diri mulai menyimpang.
Menurut syeikh Izuddin-semoga Allah swt. merahmatinya- (dalam kitab syajaratul maarif) secara naluriah manusia akan mengedepankan tujuan yang paling utama lalu yang lebih utama, mencari yang paling penting lalu yang lebih penting, dan juga menolak bahaya yang lebih besar dari bahaya yang lebih kecil. Serta dapat kita pahami bahwa skala prioritas tersebut haruslah diketahui dengan ilmu. Maka apabila kita sudah berilmu dan mengetahui, naluri kita akan mempermudah diri untuk beristiqomah. Namun nyatanya manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Maka dari itu termasuk usaha untuk istiqomah adalah menjaga ilmu entah dengan terus belajar, mengulang ulang ilmu meskipun sedikit, menulis dan menyebarkan ilmu yang dimilikinya, dan lain sebagainya. Yang tentu semua itu adalah atas seizin Allah, maka kita selalu memohon pertolongan, taufik dan hidayah kepadaNya.
Makanan hati adalah ilmu dan hikmah, dengan keduanya hati menjadi hidup layaknya tubuh yang selalu butuh makanan dan minuman
Imam Al Ghazali dalam Ikhtisar Ihya
Selain menghidupkan hati dengan ilmu, kita harus memaksa tubuh kita yang rapuh ini untuk terus tegak dalam menghadapai hantaman godaan baik yang terlihat jelas maupun yang samar. Kita harus rajin mengecek hati kita apakah mulai ada benih penyakit. Dan untuk menjaga yang batin tentu dimulai dari yang lahir dahulu-yang lebih mudah, pastikan sisi luar kita bersih, perhatikan sisi luarnya karena itu akan membantu kita untuk menata sisi bagian dalam. Atau setidaknya apabila sisi luar terlihat bagus maka kita menjadi ingat bahwa ada sisi bagian dalam yang harus dijaga juga. Untuk menjaga hati dari syahwat, tentu kita harus memaksa kelima indra kita, menghindarkan sisi lahir kita dari berbagai hal yang dapat memicunya, menghindari diri dari ruang-ruang maksiat atau bergaul dengan orang-orang sholeh dsb. (Rosulullah pun mengajarkan kita untuk berpuasa menahan lapar dan haus untuk memerangi hawa nafsu).
Jangan tinggalkan dzikir karena kitidakhadiran hatimu bersama Allah dalam dzikir itu.
Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam
Jika kamu tidak disibukkan dengan sesuatu yang bermanfaat pasti akan disibukkan dengan hal2 batil
Imam Ibnu Qoyyim
Karena istiqomah bukan lah sesuatu yang dicapai, namun suatu perjuangan terus menerus tiada akhir, tentu sudah kita rasakan sendiri bahwa salah satu keberkahan ibadah wajib adalah sebagai tiang keimanan kita. Kita syukuri bahwa Allah mewajibkan kita untuk sholat lima waktu dalam satu hari. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jika semua sholat itu hukumnya anjuran-sunnah. Tentu perjuangan kita untuk menegakkannya akan jauh lebih berat lagi karena bertumpu pada kemauan hati yang sifatnya berbolak balik. Kita harus memaksa tubuh kita untuk bersujud menempelkan kening pada tanah, barulah bisa mengajak jiwa kita untuk turut bersujud bertasbih memuji mengagungkan Allah. Tanpa kewajiban sholat, seorang yang berada di kedudukan asbab bisa saja tidak mengingat Allah sama sekali dalam siang dan malamnya sehingga semakin jauh dari kodrat penciptaannya untuk bersujud. Tanpa kewajiban-kewajiban yang Allah berikan atau amal lahiriah lainnya, tentu pengakuan para ahli tajrid, “Ya tuhanku Engkaulah yang hamba maksud dan RidhoMu lah yang hamba dambakan” menjadi sesuatu yang masih perlu pembuktian.
Wallahu alam bishwoab.
Ya tuhan kami janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk bagi kami
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi
Tidak jarang saya membaca ulang apa yang pernah saya tulis, rasanya seperti mendapat pesan dari orang lain di masa lalu.
1 Menurut syaikh Ahmad Zarruq dalam syarah Al Hikamnya, mereka yang tidak masuk dari salah keduanya (asbab dan tajrid) harus berusaha memastikan dari satu sebab ke sebab yang lain. Tanda bahwa Allah memberikan posisi tertentu pada seseorang adalah ketika ia bisa istiqomah dalam posisi itu.