Hal ketiga: Agnostik dan Sekularisme

Saya menggabungkan agnostik dengan sekularisme menjadi satu judul bahasan, karena secara pribadi melihat bahwa keduanya adalah pemikiran yang erat hubungannya dengan mereka yang mensifati diri sebagai orang “open minded”. Dan keduanya merupakan hal yang sangat dekat dengan generasi saya, generasi millenial dan generasi Z. Saya melihat bahwa orang2 ini biasanya memiliki pemikiran yang tajam dan kritis, sehingga tidak mudah menerima sesuatu secara mentah termasuk paham agama. Namun di sisi lain pemahaman agama yang “ilmu” bukanlah hal yang mudah untuk ditemui di tengah masayarakat luas, serta tanpa dasar tauhid kita hanya bisa melihat bahwa rutinitas keagamaan merupakan hal yang tidak mudah diterima akal. Orang harus dipaksa melaksanakan ritual bernama sholat misalnya, harus percaya pada sesuatu-yang tidak tahu harus bagaimana-pokoknya harus percaya, siapa yang taat akan dimasukkan ke surga, siapa yang “kafir” menjadi ahli neraka. Se-kerdil itu lah agama yang dapat kita lihat tanpa dasar ilmu.

Pribadi penulis beranggapan bahwa perkembangan kedua pemikiran ini muncul dari penolakan mereka terhadap rutinitas keagamaan yang tampak seolah mengekang, kolot, dan membutakan pengikutnya. Mereka banyak melihat kenyataan bahwa orang yang beragama merasa terbebani dengan kegiatan peribadatan yang mereka buat sendiri, yang pelaku ibadah itu dapat dari ajaran orang tua atau nenek moyangnya tanpa tahu maksud dan esensinya. Kita mengetahui bahwa di Eropa pada kisaran abad ke-15 agama bahkan dianggap menjadi hal yang menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian muncul istilah renaissance dan aufklärung di pelajaran sejarah kita (bukankah hal ini sudah terjawab di pembahasan sebelumnya, dimana agama ini mendorong iklim belajar dan menjunjung ilmu pengetahuan?).

Tanpa ilmu, agama hanya akan menyisakan bentuk, yang tersisa hanyalah dalil-dalil tanpa maksud

Dan termasuk kesalahan mendasar yang mudah kita temui adalah bagaimana generasi ini menyebut seseorang itu “alim”. Seorang alim atau ahli ilmu adalah mereka yang belajar dan menguasai ilmu, sehingga bisa menjelaskan hukum-hukum Allah. Banyak orang yang menilai ke aliman seseorang Ini dari sisi bentuk, mereka yang banyak terlihat melakukan ritual peribadatan disebut alim dan mulai ditanya tentang agama. Dan kecelakaan adalah ketika mereka yang tidak memiliki kompetensi ini malah menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan isi kepala mereka sendiri, terlebih dengan meyakinkan, dengan bahasa yang fasih.

Sudah menjadi kodrat  kita apabila menemukan kebenaran itu rasanya nikmat, ingin menyebarkannya ke orang lain agar mereka semua tahu, dan jika orang lain tidak setuju maka batin kita berontak. Seperti saat kita menemukan hal baru bernama madu ketika manusia lain hanya meminum air laut. Maka apabila orang lain yang belum pernah melihat madu ini mengejek kita yang meminumnya, tidak percaya bahwa rasanya manis-karena memang mereka tidak tahu apa itu manis, tentu naluri kita akan menyerang balik (geregetan, gemes), ingin menjelasakan bagaimana sih manis itu, bagaimana kita itu selama ini bodoh lo, kemudian memaksakan keyakinan bahwa madu itu manis dan air laut itu asin. Jika cara menyampaikannya salah, alih2 mereka percaya, justru malah akan membenci kita, risih, bahkan tidak hanya itu lebih parah lagi mereka juga turut membenci madu yang kita bawa sehingga semakin jauh dari kebenaran (belum lagi jika seorang mencoba menjelaskan madu, dengan sesuatu yang tidak ada pada madu itu sendiri). Maka dari itu marilah kita menjadi seorang yang terus belajar, menjadi seorang yang berilmu, agar bisa dengan sempurna mengamalkan seruan; “Ajaklah menuju jalan tuhanmu itu ” بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ” dengan bijak (hikmah), dan nasihat yang baik”. Kemudian “وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ” hadapilah mereka (dalam perdebatan) dengan (pondasi/argumen) yang paling bagus”.

Belajar adalah jihad; memperjuangkan agama dari bid’ah dan keraguan

Kembali pada pembahasan agnostik dan sekularisme. Menurut pribadi penulis, seorang yang agnostik (orang yang berlepas tangan dari kemungkinan keberadaan atau ketiadaan tuhan, atau orang yang percaya tuhan namun menganggap agama itu tidak realistis) adalah seorang yang pemikirannya menarik, memiliki mindset dasar bagus, namun proses berpikirnya belum selesai. Itu adalah awal runtutan berpikir dalam menuju kesempurnaan iman. Apabila kita mengetahui seorang atheis mengatakan bahwa “tidak ada tuhan”, maka seorang agnostik adalah orang yang sudah menemukan pengecualian di sana. Dan memang rukun iman yang pertama adalah mengimani keberadaan tuhan dahulu, siapa tuhan atau tuhan yang mana yang benar2 tuhan. Apakah tuhan yang manusia; makan-minum-tidur atau tuhan yang tidak sama dengan makhluk?, apakah tuhan yang dua-tiga-empat atau tuhan yang satu dan tiada sekutu bagiNya?, tuhan yang maha melihat-mendengar-berbuat apa yang dikehendaki-atau tuhan yang dirawat dan dibersihkan?, tuhan yang maha suci maha mulia atau tuhan yang merupakan seorang anak dan tuhan yang memiliki anak?. Sekali lagi, baik untuk saya sampaikan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Dan kita semua tentu berharap bahwa orang-orang yang merdeka dalam berfikir ini, mereka yang menolak taqlid, mereka yang menyebut diri sebagai agnostik, mereka tidak berhenti dalam proses berfikirnya. Semoga mereka terus mencari, mencari, dan pada akhirnya bisa menemukan “siapa”, dari “kecuali” dalam pernyataan “tidak ada tuhan” itu.

Berkaitan dengan sekularisme, seharusnya juga sudah bisa terjawab dengan mempelajari aqidah dan memaknai-mensifati hidup secara benar. Bagaimana agama adalah jalan nafas hidup kita, memisahkannya dengan kehidupan sehari-hari itu keluar dari maksud kita diciptakan. Agama bukan sebatas ritual-ritualnya, tentu lebih dari itu agama juga membentuk sikap sosial, agama mengatur -dalam artian berperan dalam menciptakan pola perilaku-kehidupan kita dalam bermasyarakat, dan dalam mengambil keputusan-keputusan.

Orang yang beranggapan bahwa paham agama harus dipisahkan dengan kehidupan dunia, “agama ya akhirat, urusan dunia tidak usah membawa agama” adalah peng-kerdilan dari ajaran keagamaan. Seolah ilmu agama hanya terbatas pada bagaimana itu sholat, wudlu, dan lain sebagainya. Padahal agama adalah “ilmu untuk bersujud kepada tuhan” baik ketika sholat, bekerja, berdagang, bermain, sendirian, maupun saat berada ditengah-tengah masyarakat. Pengertian beragama dalam berdagang bukan berarti menjual alat sholat, namun berdagang secara jujur, mengikuti teladan nabi, menempatkan diri sebagai seorang yang selalu berada dalam kuasa Allah, dsb. Pengertian beragama dalam bermain bukan hanya berarti dengan bermain tebak nama nabi dan rosul, tapi juga dengan bermain-melepas penat, ngopi, menikmati hidup dengan mengingat bahwa Allah itu baik dan banyak hal menyenangkan itu merupakan hal yang mubah dan yang haram itu sedikit, dsb. Atau dalam jangkauan yang lebih luas lagi, beragama dalam memimpin masyarakat majmuk-plural seperti di Indonesia, bukan berarti harus mengganti peraturan peraturannya dengan hukum-hukum khusus yang bersumber pada satu agama yang dianutnya, namun lebih pada menjalankan tanggung jawab pemerintahan dengan amanah, dengan berlaku adil, dan yang penting juga adalah menjaga batasan, mengeluarkan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariat agama, dsb. Lillahitaala. Wallahu a’lam bi shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *