Sama seperti pada judul aqidah, di sini saya tidak akan membahas tentang masalah-masalah khilafiyah itu sendiri, karena memang bukan tempatnya, dan juga saya memang bukan orang yang tepat untuk itu. Sebenarnya judul yang lebih sesuai mungkin adalah bagaimana menyikapi khilafiyah, atau bagaimana saya pribadi melihatnya. Namun saya memilih judul-judul yang lebih universal dan umum (tidak spesifik) dengan maksud mengabarkan bahwa apa yang ada di sini saya niatkan sebagai pemicu untuk mempelajari bahasan yang lebih utuh itu, atau judul itulah pelajaran yang sebenarnya ingin saya pribadi pelajari dan sampaikan secara runtut. Di mulai dari bagaimana memandang ilmu dan ahli ilmu; maka teruslah menuntut ilmu dan sempurnakan ibadahmu dengannya, pentingnya aqidah sebagai pondasi; maka perkuatlah tauhid dan lihatlah dunia dengan aqidah ahlussunnah, kemudian kita senggol pemikiran yang menjadi isu aqidah itu (agnostik dan sekularisme); silahkan gunakan akal sehatmu dan berhati-hatilah, dan sekarang tentang khilafiyah; belajarlah sebagai awal jihadmu di jalan Allah dan merunduklah. Semoga kita termasuk orang yang ridho, dan Allah pun ridho kepada kita, bersamaNya kita mendengar, bersamaNya kita melihat, bersamaNya kita menyentuh, dan bersamaNya kita berjalan.
Baik untuk kita sadari bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah warna dalam agama. Perbedaan pendapat adalah bukti hidupnya ilmu dan pemikiran, apabila ada dua orang dan tidak pernah berbeda pendapat, maka yakinlah bahwa hanya satu saja di antara mereka yang berpikir. Dapat disebabkan metode pengambilan hukum yang berbeda, perbedaan kaidah ushul yang digunakan, intuisi kebahasaan dalam membaca suatu nash, sampai kondisi alam yang berbeda dan lain-lain. Terlebih lagi, selisih perbedaan zaman kita dengan masa kenabian sudah begitu panjang dan melahirkan banyak generasi dengan segala permasalahannya.
Jangankan masalah yang ranting, yang pokok saja-seperti sholat, wudlu, tentu kita tahu berbeda pendapat antara madzhab yang 4. Dengan sumber nash yang sama, Imam Malik dan Imam Hambali menyebutkan 7 rukun wudlu, Imam Syafi’i menyebutkan 6, sedangkan Imam Hanafi 4. Bahkan meskipun Imam Malik dan Imam Hambali sama menyebut 7 pun mereka berbeda, di mana Imam Hambali mewajibkan tertib sedangkan Imam Malik mewajibkan anggota wudlu itu digosok1 2. Rukun wudlu adalah sebuah produk dari ilmu fiqih, sedangakan syariat islam(nya) adalah wudlu itu sendiri-yang merupakan perintah Allah dalam al quran. Kita ambil perbedaan dalam wudlu itu dari sisi tertib dengan bahasan sederhana;

Nah, dari nash dalam surat al maidah; 6 tersebut. Secara sederhana kita dapat memahami pendapatnya Imam Malik bahwa antara rukun yang satu dan yang lain itu dihubungan dengan huruf “wawu”, atau dalam bahasa indonesia kurang lebih artinya sama dengan konjungsi “dan”. Yang mana secara kaidah berarti tidak menunjukkan maksud keruntutan3. Sehingga tidak ada kewajiban bagi kita untuk tertib, dan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib merupakan pantangan bagi ahli ilmu, karena mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab menjaga hukum Allah-ilmu-sunnahnya rosulullah. Sedangkan Imam Syafi’i melihat redaksi “usaplah kepalamu” berada diantara anggota wudlu yang mendapat perintah “basuhlah”; dimana menjadi satu kebiasaan dalam bahasa, adalah menggabungkan satu yang sejenis, atau dengan kata lain “tidak mungkin tidak ada perintah tertib, jika membasuh kaki diletakkan terpisah dengan wajah dan tangan padahal mereka sama-sama dibasuh”4. Jika tidak ada perintah runtut maka kira-kira redaksinya akan berbunyi “basuhlah wajahmu, dan tanganmu (juga dibasuh) sampai siku, dan kakimu (juga dibasuh) sampai mata kaki, (baru kemudian) dan usaplah kepalamu”, namun kenyatannya tidak begitu sehingga secara implisit dalam nash tersebut juga menunjukkan rukun tertib. Wallahu a’lam bi showab.
Terlepas dari nash dalam surat al maidah di atas, tentu pendapat kedua Imam besar di atas juga diperkuat dengan dalil-dalil lain yang tidak perlu saya sampaikan. Kita bukan mau berfokus membahas pendapat mana yang lebih kuat, saya hanya ingin memberi contoh sederhana bagaimana satu sumber yang sama bisa memunculkan produk fiqih yang berbeda. Dan memang selain berdasarkan dalil dalam al quran, kita tahu bahwa ada sumber lain untuk menetapkan suatu hukum; yaitu hadits, ijma, dan qiyas. Atau juga ada sebagian yang menggunkan; maslahah mursalah, saddu ad dzariah, istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf, dan syar’u man qoblana.
Berbeda beda dalam ber-fiqih itu lumrah karena memang produk manusia yang sifatnya tidak mutlak, yang masalah adalah apabila kita menjalankan syariat tanpa mau mempelajari ilmu fiqih (asal-asalan) dan menjadi orang yang tidak mau tahu, atau sebaliknya merasa tahu padahal tidak belajar. Telah menjadi kewajiban bagi kita adalah mempelajari ilmu hal, ilmu yang berhubungan dengan perilaku kita sehari hari sebagai seorang muslim, seperti wajib dan sunnah sholat, rukunnya, hal-hal yang membatalkan dsb. termasuk misalnya seorang pedagang berarti harus tahu ilmu, harus tahu kewajiban dan larangan terkait berdagang seperti syarat jual beli, larangan riba, larangan gharar dsb. Dan semakin banyak tahu, semakin luasnya wawasan seseorang, tentu tingkat toleransinya terhadap perbedaan akan semakin besar juga. Bagaimana kita selama ini tahu bahwa hubungan ke empat imam madzhab (madzhab besar dalam ilmu fiqih) adalah hubungan guru dan murid, dan bagaimana mereka saling menghormati pendapat satu sama lain.
Kita sebagai seorang yang awam, seorang yang berkedudukan sebagai murid, tentu harus memandang perbedaan pendapat para ahli ilmu, para syaikh, guru-guru kita, dengan cara pandang positif-dalam artian optimis dan mendahulukan sangkaan yang baik. Jangan sampai kita melihat seorang yang berbeda dengan kita itu kemudian secara sepihak melabelinya sebagai tidak tahu, sebagai bodoh, kalah alim, cinta dunia, ahli bid’ah apalagi sebagai munafik bahkan sampai kafir. Dan tuhanku adalah dzat yang maha pengampun lagi maha mensyukuri, maha mengetahui lagi maha bijaksana, dan sungguh luas rahmatNya. Semoga kita dijauhkan dari kerasnya hati dan sempitnya pemikiran, semoga kita menjadi seorang yang bisa melihat secara bijak mana pendapat yang baik, dan mana yang jauh lebih baik. Dan tentu kita semua sepakat bahwa ijtihad yang salah, adalah termasuk kesalahannya orang yang dicintai5. Sedangkan berburuk sangka, dengki, adalah keburukan mutlak bagi diri sendiri dan orang lain. Terlebih jika kita yang awam ini berburuk sangka kepada orang yang belajar bertahun-tahun, menghabiskan umurnya untuk memperjuangkan agama, meneliti hukum-hukum Allah dan menyampaikannya kepada umat.
Ulama adalah para pewaris nabi
Jika ada yang berpikir, “sumber hukum islam adalah al quran dan hadits, apabila sumbernya sama tentu para ulama tidak akan berbeda pendapat, jadi sebab adanya ikhtilaf antara mereka hanyalah kepentingan nafsu dunianya masing-masing, sedangkan nabi selalu jujur dan benar kita harus kembali kepadanya”. Baik untuk saya sampaikan lagi, bahwa menuntut ilmu adalah jihad; memperjuangkan agama dari bid’ah dan keraguan. Menegakkan syariat islam yang murni bersumber pada al quran dan hadits adalah hal yang baik dan wajib dilakukan. Namun perlu diingat bahwa ada kemungkinan lain yang luput dari cacatnya pengelihatan kita; kita melihat apa yang difatwakan para ahli ilmu sebagai suatu bid’ah-seolah bertentangan dengan “bacaan” kita, bukan karena memang mereka menyimpang, namun pengetahuan kita lah yang ternyata hanya secuil, hanya satu lembar buku itu pun tanpa guru. Syarat mutlak bagi kita untuk berbeda pendapat dengan para alim (melakukan kritik terhadap pemikiran atau istinbath hukum yang diambil), adalah belajar, setidaknya referensi, level keilmuannya itu sepadan. Itu pun belajarnya juga harus kepada para alim, tidak bisa kita membaca kitab shohih bukhori kemudian melabeli diri sebagai seorang yang belajarnya dari rosulullah. Kita harus mengingat siapa kita, tahu diri, dan bijak sebagai seorang yang awam.
Terkait hal ini pikiran liar penulis juga pernah bertanya, “Saya yang tidak pernah benar-benar belajar agama ini, membaca sedikit hadits dengan kriteria shohih kemudian menyebut seseorang melakukan bid’ah, padahal orang itu mengamalkan ilmu yang didapat dari gurunya. Dan gurunya memiliki sanad keilmuan sampai kepada rosulullah. Jangan-jangan, tindakan menuduh orang melakukan bid’ah (seperti yang saya lakukan ini) lah justru yang merupakan bid’ah itu sendiri?”
Allah tidak akan membebani kita itu melebihi kesanggupan kita. Jika memang belum tahu maka yasudah, itu bukanlah persoalan yang dibebankan untuk kita, diam lebih selamat. Jika itu pokok dan ingin memperbaiki, maka belajar dan bekalilah diri dengan ilmu. Jika tidak bisa membaca isi hati orang lain-dan memang tidak akan bisa, maka keselamatan adalah berbaik sangka kepada ahli ilmu. Kita akan diberi pahala dari apa yang kita usahakan, dan pengadilan dari dosa yang telah kita kerjakan. Maka marilah kita selalu berusaha dengan terus belajar, beramal dan memperbaiki diri, serta marilah kita hindari perbuatan dengki, prasangka yang buruk, mencaci, dan segala perbuatan lain yang jauh dari sifatnya orang arif.
Wahai tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir
1Aminullah Furqoni, Lc., “Rukun Wudlu dalam Empat Madzhab”, http://www.kajiankampoengsyariah.com/2017/08/rukun-berwudhu-dalam-4-madzhab.html (diakses pada 28 September 2021)
2“Wudlu Menurut Empat Madzhab”, https://mathlaulanwar.or.id/2018/07/22/wudhu-menurut-empat-mazhab/ (diakses pada 28 September 2021)
3Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd (Bermadzhab Maliki) yang ditahqiq oleh Ahmad Abu Al Majid, disebutkan bahwa terkadang wawu digunakan untuk athaf bermakna urut, dan terkadang tidak mengandung makna urutan, hal ini jelas dalam bahasa arab. Karena itulah ulama nahwu (gramatika) dalam hal ini terbagi dua pendapat; ulama Bashrah berpendapat bahwa wawu tidak mengandung urutan, ia hanya mengandung makna menyatukan, sementara ulama Kufah menyatakan bahwa wawu mengandung makna urutan.
4Ustadz Husnul Haq, “Beda Pendapat Ulama Soal Tertib dalam Wudlu”, https://islam.nu.or.id/post/read/100807/beda-pendapat-ulama-soal-tertib-dalam-wudhu (diakses pada 28 September 2021)
5Dalam satu kesempatan KH. Ahmad Bahaudin Nursalim pernah menyampaikan dalam salah satu majlis ilmunya, bahwa termasuk kesalahan orang yang dicintai adalah ketika Nabi Adam “mencicipi” buah (yang secara umum kemudian diistilahkan) khuldi, dan kemudian Allah menegurnya serta memberikan kalimat taubat kepadanya (فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ). Bagaimana kita melihat keluarnya Nabi Adam dari surga ibarat anak yang keluar rumah, dibekali handphone dan uang oleh orang tuanya, dan jika ingin kembali pulang diajarakan bagaimana caranya. Yang kemudian dijelaskan juga bagaimana Nabi Adam memakan buah tersebut karena tidak menyangka, ada makhluk (iblis) yang bisa bisanya berkata bohong dengan membawa agungnya nama Allah.