Hal kedua: Aqidah

Selain memang bukan tempatnya, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang ilmu aqidah itu sendiri karena akan menjadi pembahasan yang panjang nantinya, namun lebih pada bagaimana pribadi penulis beraqidah. Di tengah-tengah zaman yang bisa dibilang sudah banyak ditemui bid’ah, fitnah ini, semoga kita menjadi mukmin yang selalu berada di jalan yang lurus, yaitu jalan orang2 yang Allah berikan nikmat kepada mereka. Jalannya para nabi, jalannya para kekasih Allah, jalannya para salafus shalih, jalannya para alim, para abid.

Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah

Sebagai seorang ahlussunnah, tentu kita tahu bahwa aqidah kita jangan sampai keluar dari dasar-dasar yang telah digariskan dan diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi sebagai dua madzhab besar dalam ilmu tauhid. Yang menjadi ciri pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiah adalah metode berpikir yang tengah-tengah, moderat. Ajaran yang tidak mendewakan akal, namun tidak juga menganggap bahwa hujjah dalam agama itu harus mengingkari atau menolak ilmu logika, atau akal sehat. Aqidah yang bersumber pada dalil naqli ditegakkan dengan bukti-bukti rasional (aqli) yang bisa diterima oleh para filsuf (ilmu kalam atau ilmu mantiq)1. Karena memang pada dasarnya kebenaran akan menang dan memiliki argumen paling kuat, dan agama ini adalah agama yang akal akan merasa nyaman menerimanya. Tidak ada paksaan dalam beragama, karena memang telah jelas mana yang benar dan yang buruk pondasinya, atau bahkan memang sifat kebenaran itu pada dasarnya lebih jelas dari pada kesalahan/keburukan.

Sebagai seorang mukmin yang posisinya bukan/tidak diwajibkan untuk memperdalam ilmu filsafat teologi, ilmu kalam atau semacamnya, ada baiknya bagi kita untuk menghindari berpikir terlalu jauh (secara mandiri) dalam membangun argumen-argumen tauhid yang berlebihan. Karena logika individu dan bekal keilmuan yang belum mumpuni akan menjadi awal ketergelinciran. Bagi pribadi yang awam ini, sebaiknya lebih banyak memikirkan tentang kebesaran tuhan ketimbang memikirkan dzat tuhan itu sendiri.

Merupakan jalan keselamatan bagi kita untuk mengikuti ajaran guru-guru kita. Sudah merupakan fitrah bagi kita untuk menerima kebenaran tanpa membutuhkan argumen atau dalil-dalil yang rumit. Tuhan itu satu, dzat yang esa, tempat kita memohon, tidak sama dengan makhlukNya, maha suci dari pensifatan anak dan sifat diperanakkan, dan tidak ada bandingan-sekutu bagiNya. Tidak pernah pribadi penulis menemukan deklarasi ketuhanan yang lebih kuat dan jelas dari pada itu. Yang kita mengenal namaNya, sifat-sifatNya, hukum-hukumNya melalui seorang utusan yang dipilih dari golongan kita sendiri, junjungan yang “manusia”, seorang yang jujur baik perbuatan maupun perkataannya, yang mulia akhlaknya, sebaik-baik pribadi yang bisa diteladani, Nabi Muhammad ﷺ. Yang ajarannya merupakan penyempurna dari apa yang telah dibawa oleh nabi-nabi dan rosul sebelumnya.

Ilmu yang sempurna datangnya dari ahli ilmu, karena mereka menghafal dari sebaik baik yang mereka dengar, dan menyampaikan dari yang sebaik baik mereka hafal2.

Dengan ke tauhidan, meski cukup dengan dasar-dasar aqidah saja, kita sudah memiliki bekal luar biasa untuk menghadap Allah. Keimanan adalah nikmat tertinggi yang bisa kita terima. Mesti diingat bahwa menyadari, mengakui kebenaran akan kebesaran tuhan, telah menjadi esensi telinga, mata, hati, lisan, dan keberadaan kita. Itu lah yang menjadi pembeda kita dengan makhluk lain, yang memang datang ke dunia dengan cara tasbihnya masing2. Bumi adalah tempat kita bersujud, air adalah untuk kita bersuci, makanan, tumbuhan dan buah2an adalah untuk menjaga eksistensi kita agar tetap bisa bernafas-menyaksikan kebesaran tuhan melalui segala yang dapat kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Dan harus selalu diingat bahwa kita datang dengan maksud penciptaan yang paling mulia, sehingga bisa mensifati dunia ini sesuai dengan arti penciptaannya. Seperti para penggembala, mereka bersama-sama dengan ternaknya di padang rumput, namun keduanya berbeda, mereka tetap ingat siapa dirinya, bukan malah ikut makan dan tidur atau turut menjadi domba bersama ternaknya.

Ada satu hal di dunia ini yang kamu tidak boleh lupa, jika kamu melupakan segalanya tapi ingat yang satu-maka kamu akan selamat. Jika kamu ingat dan memahami segalanya tapi tidak dengan yang satu-seolah kamu tidak pernah berbuat apa-apa

Jalaluddin Rumi, dalam Fihi ma Fihi

Dan tuhanku adalah dzat yang maha pengampun lagi maha mensyukuri. Semoga kita termasuk orang-orang yang (dijadikan) kelak mengakhiri ujian di dunia ini dengan membawa nikmat iman islam, inshaallah.


1Dalam buku “Kisah Hidup dan Pemikiran Sang Pembaharu islam” karya Shalih Ahmad Asy Syamsi, dikatakan bahwa Al-Asy’ari membangun bukti-bukti rasional dan teologis untuk membela ahlussunnah. Ia mendebat Mu’tazilah dan para filsuf serta mempreteli aqidah mereka satu persatu dengan bahasa logika.

2Kalimat ini saya dengar dari guru saya, (tapi aku lali iku beliau nukil tekan endi opo piye :), lek ga salah kitab ta’lim opo ya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *