Hal terakhir: Kematian

Ketika urusan kita di sini sudah selesai.

Jika kematian terlanjur mendatangiku, mau bagaimana lagi.

Tidak ada jalan kembali.

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah kami memohon umur terbaik kami ada di penghujungnya, amal terbaik kami ada di penutupnya, dan hari-hari terbaik kami saat bertemu denganMu. Agar Engkau jadikan kematian sebagai kebebasan kami dari segala keburukan, dan kebaikan menjadi warisan bagi yang kami tinggalkan.

Untuk mengawali tulisan ini sekaligus juga mengakhiri hal-hal yang telah saya sampaikan sebelumnya, marilah kita sama-sama mengakui dengan penuh kesadaran dan keyakinan bahwa; innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Mengingat sudah berapa orang yang kita kenal, yang sempat bertemu bersentuhan berbicara dengan kita, kemudian sekarang sudah pergi mendahului. Merenungkan bagaimana nanti nama kita yang diumumkan kepergiannya. Ketika tubuh tidak lagi bergerak, dimandikan, disholatkan dan didoakan oleh orang lain. Oleh wajah-wajah yang tidak akan dimintai pertanggung jawaban atas amal kita di dunia. Wajah yang mungkin kita masih meninggalkan dosa kepada mereka.

Cukuplah kematian sebagai nasehat.

Anugerah bagi seorang mukmin.

Kematian adalah gerbang awal kita menuju akhirat. Setiap yang bernyawa pasti akan mati meninggalkan dunia tempat mereka beramal. Dan hanya kita, sendirian menghadapi dahsyatnya sakaratul maut menuju alam kubur. Mendatangi dunia baru yang telah dikabarkan oleh orang-orang yang memberi peringatan. Urusan besar yang tidak boleh dilupakan, yang tidak bisa kita hindari ketika waktunya sudah tiba. Yang apabila mengingatnya, maka terputuslah segala kenikmatan.

Katakanlah bahwa kematian yang kalian lari darinya, sungguh akan datang menemui kalian.

Kita dianjurkan untuk senantiasa mengingat kematian dan memperpendek angan-angan, agar menjadi pendorong dalam bersiap-siap menyambut apa-apa yang datang setelahnya. Baik dengan beramal shalih maupun bertaubat, keduanya akan lebih mudah bagi orang yang senantiasa mengingat kematian. Sebaliknya, panjang angan-angan akan melalaikan kita dari amal shalih serta menjadikan taubat terasa begitu berat.

Orang yang merasa umurnya masih panjang/tidak mengingat bahwa kematian akan datang baik dalam waktu dekat maupun lambat, maka akhirat akan menjadi nomor sekian dari prioritas pekerjaannya sehari-hari1. Bukan karena meremehkan, namun memang lupa dan lalai akan datangnya hari perhitungan. Orang yang merasa masih akan hidup 10 bahkan 30 tahun lagi, secara naluri terdorong untuk menunda-nunda taubatnya. Menjauhi maksiat akan terasa berat karena membayangkan bahwa harus menahan diri, harus beristiqomah sampai berpuluh tahun lagi. Berbeda dengan orang yang beranggapan bahwa bisa saja nanti malam atau besok pagi dirinya sudah tidak ada, maka perjuangan untuk memerangi hawa nafsu tidaklah terbayang sebagai hal yang lama dan berat. Atau kemudian menyegerakan diri bertaubat dan menganggap bahwa bisa saja maksiat yang diperbuat tadi adalah yang terakhir sebelum malaikat maut menjemput.

Sangat mungkin bagi Allah menjadikan maksiat kita pada hari ini yang kita telah bertaubat darinya, adalah maksiat terakhir kita sebelum kematian itu datang.

Sangat mungkin bagi Allah menjadikan perbuatan maksiat yang kita tinggalkan, yang kita begitu payah menahan diri darinya, adalah perjuangan terakhir kita memerangi hawa nafsu sebelum kematian itu datang.

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, namun tidak semuanya bersiap untuk itu. Ada yang menyambutnya dengan penuh rasa takut, ada yang menyambutnya dengan penuh harap (akan rahmat Allah), ada juga yang rasa takut dan harapnya apabila ditimbang maka keduanya sama berat. Seperti halnya ibadah, rasa takut dan harap harus ada pada setiap kita dalam menyambut kematian serta apa yang datang setelahnya. Rasa takut tanpa disertai harapan akan melahirkan kebencian, sedangkan harapan tanpa disertai rasa takut akan melahirkan adab yang buruk. Menurut Imam Al Ghazali dalam Ihya; harapan lebih utama dibanding rasa takut, karena cinta didominasi oleh harapan atau optimisme, sedangkan rasa takut bisa mendorong kita untuk menjauh.

Orang tidak akan mulai menanam padi tanpa ada rasa optimis dalam dirinya bahwa kelak akan memanen, orang yang tidak memiliki harapan terhadap sesuatu maka hatinya tidak pernah condong ke arah sana. Para sufi melihat kematian sebagai jalan bertemu kekasih. Para shalih melihat kematian sebagai tahapan pintu surga. Para faqih melihat kematian sebagai akhir dari ujian di dunia berikut tipu dayanya. Rasa takut akan menjadikan mereka selalu berhati-hati, memupuk padi itu, menyiraminya, dan menjauhkannya dari hama yang dapat merusak apa yang telah mereka semai.

Kemudian rasa optimis tanpa ada sebab tercapainya, hanyalah ketertipuan. Kita akan melihat golongan yang mengatakan, “bukankah Allah maha pengampun dan rahmatNya begitu besar, yang mampu memasukkan kami ke surga meski tanpa sedikitpun amal shalih?”. Sungguh kunci surga adalah kalimat tauhid. Surga dan neraka kita adalah hak Allah. Namun meski demikian, Allah melalui nabi dan rosul telah memberi tahu kita jalan keselamatan dengan sangat-sangat jelas. Bagaimana orang yang tidak menanam namun menunggu waktu untuk memanen. Atau mengapa dengan sengaja menanam rumput teki jika memang berharap untuk menuai beras. Maka sudah menjadi “keteraturan” bahwa jalan keselamatan adalah dua yang tidak boleh putus satu; iman dan amal shalih. Yang jika salah satunya tidak ada maka ibarat ujian tes masuk, saya pribadi menyebutnya sebagai “nilai mati”. (membanggakan nilai TPA tinggi hingga soal TBI tidak dikerjakan, bagaimana?).

Namun tetap; kalimat tauhid tidaklah bisa dibandingkan dengan apapun. Seorang yang pada dirinya ada kalimat لَا إِلٰهَ إِلَّا الله maka surga adalah tempatnya kembali. Bukan bermaksud mendahului ketetapan Allah untuk surga dan neraka, namun saya katakan itu dengan yakin sebagai isyarat keimanan dalam hati akan betapa mulianya kalimat ini. Dan apabila kunci surga sudah dimiliki, maka memilih jalur memutar menuruni neraka terlebih dahulu adalah urusan masing-masing. Bukankah kita sudah mendengar berita tentang orang-orang yang ingkar kepada tuhannya, melalui kalam yang jelas dan kita yakini kebenarannya. Tentang seburuk-buruk tempat kembali. Ketika mereka dilempar kedalamnya, hingga terdengar suara yang mengerikan sementara tempat itu membara. Hampir meledak karena amarah. “Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu?”.

“Sekiranya dulu kami mendengarkan dan memikirkan peringatan itu, tentu lah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”.

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih”.

“Siapa pun yang akhir ucapannya kalimat La ilaha illallah maka surga untuknya”.

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?”. Mereka menjawab, “kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”.

Imam Ibnu Athaillah dalam Al Hikam menyampaikan-yang kurang lebih maksudnya; “termasuk alamat, ciri seorang yang bersandar pada amal adalah berkurangnya harap setelah terjadi kesalahan-berbuat dosa atau blunder”. Dapat kita pahami bahwa kalimat tersebut ditujukan pada mereka yang “mengakui” amalnya sebagai penyelamat di akhirat. Orang yang setelah berbuat kesalahan kemudian menjadi pesimis, menandakan dia menyandarkan keselamatannya pada bentuk. Contoh mudah tentang bersandar adalah seperti seorang mahasiswa yang tertidur ditengah belajar menjelang ujian padahal belum semua materi dipahami, rasa pesimis untuk lulus adalah bukti kebersandarannya pada belajar. Semakin tinggi kebersandarannya terhadap suatu hal, semakin besar pula rasa pesimisnya apabila yang disandari telah rusak. Bahkan sampai pada posisi putus asa-dalam hal menyambut kematian-berputus asa dari rahmat Allah-yang kita berlindung darinya. Maka janganlah sandarkan dirimu pada sesuatu yang rapuh, dan segala bentuk adalah sesuatu yang rapuh-makhluk-karena sangat berpotensi untuk blunder, hilang, gagal, rusak dsb. Amal adalah bentuk.

Dosa2 kecil ini, kelak akan menjadi masalah besar bagiku ketika menghadap dzat yang maha adil maha perkasa. Namun tidak ada dosa yang besar dihadapan dzat yang maha agung maha pengampun. Maka kuhadapkan wajahku padaNya dari sisi rahmat. Dengan bertaubat.

Bersandar pada amal bukanlah maksiat, namun dalam hal keimanan dan kaitannya untuk keselamatan di akhirat, bersandar pada amal sangat berbahaya bagi kita. Bersandar pada amal adalah kedudukan paling rendah seorang mukmin. Makhluk pertama yang kita ketahui bersandar pada amal adalah iblis. Iblis melihat-mengakui ibadahanya kepada Allah selama ribuan tahun, sehingga tidak mau bersujud pada Adam yang belum memiliki track record amal sama sekali. Kebersandaraan pada amal menjadikan iblis tidak melihat siapa yang memberinya kemuliaan sehingga ditakdir untuk beribadah, iblis tidak melihat siapa yang memerintahkannya untuk bersujud pada Adam, kecondongan iblis hanya pada apa yang dia sandari-yang dia lihat-amalnya. Hingga dia melakukan kesalahan-durhaka kepada Allah-hanya kesalahan itu juga yang dilihatnya, sehingga menjadi makhluk yang putus asa dari rahmat Allah. Padahal sungguh Allah adalah dzat yang maha agung, maha pengampun maha pengasih lagi maha penyayang dan sungguh luas rahmatNya.

Orang yang bersandar pada Allah, berserah kepadaNya, akan menyambut kematian dengan penuh harap akan rahmatNya. Menunggu gilirannya tiba dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya karena harapan tanpa sebab tercapainya hanyalah ketertipuan. Orang yang bersandar pada rahmat Allah maka tidak akan sombong dalam beramal karena tahu bahwa itu adalah pemberian, dan tidak akan putus asa setalah berbuat dosa karena memang yang dilihat hanyalah Allah. Maka dapat kita temui orang-orang shalih, alim, abid-mereka hidup dan meninggal dengan keadaan tenang dan damai.

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka”.

Wallahualam bishowab.

Melalui tulisan ini saya ingin berpesan pada diri saya sendiri, dan siapa saja yang saya cintai. Bahwa kematian adalah sesuatu yang dekat, tidak bisa kita menghindar darinya. Mari mensyukuri dunia sebagai tempat menyaksikan kebesaran Allah dan beramal shalih karenaNya. Menghadapkan wajah ini pada Allah pencipta langit dan bumi serta segala yang terlihat, terdengar, dan kita rasakan. Secara hanif-sebagai muslim, dengan taat dan pasrah tanpa mempersekutukanNya bahkan dengan amal kita sendiri. Karena sungguh sholat ini, ibadah ini, hidup dan mati ini hanyalah milik Allah tuhan semesta alam yang memang tidak ada sekutu bagiNya. Dengan itulah ketaatanku diperintahkan dan aku berserah kepadaNya.

“Wahai orang-orang yang beriman, masukkan dirimu kedalam islam secara menyeluruh”.

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ


اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepadaMu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepadaMu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepadaMu yang akan menyampaikan Kami ke surgaMu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah dunia ini.
Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami,” (HR Tirmidzi).


1Ini adalah pengulangan dari bahasan sekularisme; bahwa beragama-termasuk beriorintasi pada akhirat, bukan berarti terbatas pada bentuk pekerjaannya saja. Namun lebih pada memposisikan diri sebagai hamba Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan. Sehingga melihat segala sesuatu-melihat dunia sebagai tempat untuk bersujud menyaksikan kebesaran tuhan, baik pada saat makan, bekerja, beristirahat dsb. selama hati ini masih disinari cahaya iman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *