Hal kesepuluh: Ibnu Abdillah

Bismillahirahmanirrahim. Tentang sebaik-baik makhluk, junjungan yang manusia.

Ya Allah limpahkanlah Rahmat kepada Nabi Muhammad, putra sayyid Abdullah dan sayyidah Aminah.

Ya Allah sungguh telah datang kepada kami rahmat pertolonganMu melalui kekasihMu.

Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersholawat kepada nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu kepadanya, dan berikan salam dengan penuh penghormatan.

Rosulullah adalah sosok mulia hingga kisah hidup dan kepribadiannya sendiri adalah sebuah pujian. Sebenarnya tidak perlu kita repot-repot membuat kalimat pujian kepadanya, cukup ceritakan saja perjalanan hidupnya karena jalan hidup beliau sendiri sudah merupakan hal yang terpuji, begitulah kira-kira yang telah dilakukan oleh Imam Al Barzanji dan Imam Ad Dibai dalam kitabnya, semoga Allah merahmati mereka. Hingga untaian kalimat pujian yang indah akan muncul sendirinya sebagai isyarat dari hati yang sedang jatuh cinta.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya dalam Hal keenam: Cinta. Bahwa kodrat seorang pecinta adalah memberi, dan kita pahami bersama bahwa sebaik-baik yang bisa kita berikan kepada manusia adalah doa-harapan kebaikan dan ucapan keselamatan. Meskipun pemberian tersebut (baca: sholawat kita) tidak menambah kedudukan beliau di sisi Allah-ya karena siapa kita kok mendoakan nabi-kekasih Allah yang sudah begitu mulia kedudukannya. Sholawat kita pada beliau menunjukkan bahwa kita ini termasuk golongan orang-orang yang mencintainya. Mengingat bagaimana cicak itu masuk golongan pembenci karena turut meniup-dengan niat memperbesar-api nabi Ibrahim. Meskipun perbuatan cicak tidak berdampak apa-apa pada nabi Ibrahim tapi perbuatan itu menunjukkan pada golongan mana cicak berada. Maka marilah kita senantiasa bersholawat kepada nabi bagaimanapun kondisi kita, agar Allah dengan rahmatnya akan memasukkan kita pada golongan orang-orang yang mencintai dan mengumpulkan kita dengan orang yang kita cintai kelak di akhirat.

Tidak hentinya saya mengucap syukur, bahagia menerima kenyataan bahwa Allah menjadikan saya termasuk orang yang bersholawat kepada sebaik-baik manusia-kekasih Allah yang maha pengasih maha penyayang. Membayangkan bahwa jangankan pemberian yang tulus karena cinta, sholawat yang masih membawa nafsu pun akan menjadi amal yang diterima oleh Allah, didengar (melalui perantara malaikat) dengan penuh rasa syukur oleh Rosulullah1. Padahal mawar pemberian kita pada orang yang kita cintai dengan tulus saja belum tentu diterima dengan baik olehnya (padahal kedudukan orang itu belum jelas di sisi Allah), ini sholawat kita yang justru masih penuh aib malah menjadi hal yang dinantikan oleh sebaik-baik manusia di langit dan di bumi.

“ … Dan bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada“2.

Muhammad Ibni Abdillah, seorang nabi yang ummi, seorang jujur yang berbudi pekerti luhur dan bernasab mulia, sebaik-baik manusia yang keindahannya diterima oleh akal dan hati. Akan sering saya katakan bahwa beliau adalah sebaik-baik manusia, karena begitu bangga-bersyukur kepada Allah yang telah mengutus nabi dari golongan kita sendiri, junjungan yang manusiawi, yang begitu dekat dengan kita, yang makan dan minum, yang bisa merasakan sakit dan lelah, yang juga membutuhkan tidur, yang bisa merasakan takut dan sedih. Nabi Muhammad adalah dalil absolut bagi saya bahwa makhluk paling mulia adalah seorang manusia-kekasihnya Allah, tetap dengan segala sifat jaiz (manusiawi) yang ada pada dirinya.

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar

Termasuk keberkahan dari apa yang saya sebut diatas adalah bagaimana kita diajarkan untuk menjadi hamba itu secara manusiawi sekali. Contohnya ketika nabi hijrah ke Thaif dan kemudian oleh penduduk Thaif dilempari dengan batu. Kita tidak melihat atau mendengar “pertunjukan kesaktian” yang kemudian batu tersebut meleset semua misalnya, atau berubah menjadi kapas, atau kembali pada yang melempar atau bagaimanapun itu-yang jelas riwayatnya tidak demikian. Batu-batu yang dilempar oleh penduduk Thaif mengenai beliau hingga berdarah, kemudian beliau berlindung dan bersabar serta berserah kepada Allah dengan berdoa. Yang kemudian kita tahu bahwa beliau juga memohon petunjuk bagi penduduk Thaif, karena mereka termasuk orang-orang yang belum mengetahui atau belum paham dengan apa yang mereka kerjakan3.

Rosulullah tidak mensyariatkan kita untuk sakti, namun mengajarakan sabar dan ridho sebagai jalan kemuliaan. Secara syar’i kita tidak dibebani oleh hal-hal eksternal yang berada diluar kendali kita (namun hakikatnya tetap kita tidak pernah berkuasa bahkan atas diri kita sendiri). Sehingga definisi keren itu bukan ketika ingin sesuatu kemudian tercapai dengan mudah, keren adalah berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan kebaikan dan kebenaran. Keren adalah ketika hal yang diusahakan tidak tercapai kita masih kokoh berdiri dan bersandar kepada tuhan. Keren adalah ketika perbuatan kita tidak didikte oleh perbuatan orang lain kepada kita (baik atau buruknya mereka), namun oleh keluhuran pekerti sendiri. Dan seterusnya. Keren adalah menjadi manusia dengan sebaik-baiknya.

Waliyullah bukanlah orang yang kantongnya kosong tapi ketika dirogoh mengeluarkan banyak uang. Waliyullah adalah orang yang kantongnya banyak uang dan ketika dirogoh ternyata kosong, namun hatinya tidak bergerak sama sekali4.

Tentu banyak bisa kita temui sirah yang menunjukkan betapa manusiawinya sebaik-baik makhluk, nabi kita Muhammad SAW. Juga ketika perang khandak misalnya, jumlah kaum muslim kalah telak dengan kaum kafir. Mengetahui potensi ketimpangan pasukan seperti ini kemudian nabi itu ya sama seperti kita, merasa bingung-berfikir bagaimana cara mensiasatinya agar kaum muslimin bisa bertahan. Bermusyawarah dengan para sahabat dan kemudian  Allah jadikan ide untuk membuat parit itu munculnya dari Salman Al Farisi, dari sahabat. Yang kemudian kita tahu penggalian parit ini juga bukan hal yang mudah, nabi bersama para sahabat bergotong royong menggali parit membentengi Madinah untuk mengganggu atau me-nerf akses pasukan musuh5. Ketika berperang maka nabi mengatur strategi, bermusyawarah, berencana, memimpin dan berjuang bersama sahabat.

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Kita tentu juga pernah mendengar mukjizat nabi Muhammad membelah bulan, atau kemudian jari-jari beliau mengeluarkan air, bahkan melakukan isra dan miraj dalam satu malam. Nah meskipun hal-hal di luar nalar atau dalam tanda kutip “tidak manusiawi” atau anggap saja privilege kenabian itu tetap ada, namun kita tentu sama-sama menyadari bahwa mukjizat beliau sebagaimana yang saya sebut itu bukanlah sesuatu yang menjadi pondasi utama untuk menanamkan nilai-nilai keimanan. Hal-hal di luar nalar tetap perlu diadakan untuk menunjukkan ke-maha kuasaan Allah sekaligus ya memang menjadi ciri kenabian. Seperti nabi Musa membelah lautan, nabi Ibrahim yang apinya dingin, nabi Yunus selamat dari perut ikan paus, nabi Nuh dengan bahteranya, nabi Isa yang menghidupkan orang mati dsb. Hal-hal diluar nalar ini akan mudah menjadikan orang itu takjub dan kemudian beriman mengakui Allah sebagai tuhannya. Nah di sinilah kemudian datang nabi Muhammad bersama Al Quran sebagai mukjizat yang paling kokoh, yang mengajarkan kita untuk mengakui Allah sebagai tuhan dengan cara yang paling “manusia”.

Kita tahu bahwa mukjizat terbesar adalah Al-Quran, kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Sebagai penyempurna ajaran nabi-nabi terdahulu, yang mengajarkan kita untuk beriman itu melalui ilmu, melalui akal sehat atau nalar, menggunakan dalil yang begitu dekat dengan manusia dan kemudian menyentuh hati. Sehingga Al Quran ini adalah mukjizat yang sifatnya tidak temporal dan lokal, namun abadi dan universal-semua yang terbuka hatinya akan mengetahui kebesaran tuhan6.

Jika tanda kebesaran Allah berupa terbelahnya lautan hanya bisa dilihat oleh bani israil saja dan ya hanya pada waktu itu saja. Al Quran mengajarkan kita untuk mengangungkan Allah itu benar-benar atas dan/atau dalam segala sesuatu. Al Quran mengajarkan kita untuk kemudian melihat nyamuk yang begitu kecil, bagaimana penciptaannya. Melihat langit yang tinggi bulan bintang matahari bergerak susuai jalurnya, siapa yang mengatur semua itu. Sehingga dapat saya sampaikan bahwa mukjizat terbesar rosulullah ini, Al Quran itu mengajarkan dan menjadikan kita terbiasa untuk mengagungkan Allah tanpa perlu menunggu hal atau media yang aneh-aneh. Dan ini menjadi penting karena apabila kita dibiasakan untuk mengagungkan Allah dari hal-hal yang “tidak teratur” (aneh-aneh) maka keimanan kita akan tumpul di pengelihatan dan ingatan saja. Bisa menjadi masalah dikemudian hari sehingga orang yang lebih sakti dianggap lebih benar, padahal kebenaran itu harus diterima secara objektif dari apa yang disampaikan bukan dari seberapa sakti atau kuat orang yang menyampaikan.

“Muhammad tiada lain kucuali seorang rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu?….

An Nisa: 144 ini turun berkaitan dengan menjadi ragunya sebagian kaum muslimin di tengah medan perang uhud, setelah medengar isu bahwa rasulullah telah terbunuh

Kita diajak untuk menyaksikan “keteraturan” sebagai nikmat, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk. Mudah saja Allah jadikan kambing beranak unta, pohon pisang berbuah semangka dsb. Namun jika banyak kejadian-kejadian tidak teratur, bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Allah jadikan keteraturan bahwa orang yang berusaha akan berhasil, orang yang menanam akan memanen, orang yang beribadah akan masuk surga dsb. Itu juga bentuk kebesaran Allah dari sisi rahman rahimNya. Sehingga manusia bisa berencana, bisa berusaha untuk menggapai sesuatu, supaya syariat tetap bisa ditegakkan. Bahkan pada surat tabarak (Al Mulk) bisa kita temui Al Quran memperkenalkan Allah sebagai dzat yang menguasai segala kerajaan, maha kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati, hidup, menciptakan tujuh langit itu kemudian diikuti ayat yang mengingatkan kita pada keteraturan,  مَّا تَرَىٰ فِى خَلْقِ ٱلرَّحْمَـٰنِ مِن تَفَـٰوُتٍۢ , Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan tuhan yang maha pengasih.

Maka ikhtiar adalah cara kita mensyukuri nikmat Allah berupa keteraturan yang diciptakanNya di dunia ini.

Seseorang yang bisa melihat agama ini sebagai ajaran yang logis dan relevan, tentu lazimnya akan bercita-cita menjadi orang alim. Ya meskipun tidak kesampaian karena malas atau sibuk dengan hal-hal lain. Namun minimal keinginan tersebut menumbuhkan rasa cinta kepada para ulama, pada masayikh, pada orang-orang yang menyampaikan ilmu, guru-guru kita, terlebih jatuh cinta pada mpunya ilmu itu sendiri yakni Rosulullah saw.

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad.


1“Semua amal ibadah berpotensi diterima dan ditolak Allah kecuali shalawat nabi SAW karena ibadah shalawat dipastikan penerimaannya sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW. Ijma’ ulama menghikayatkan masalah ini,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 48)
https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/amal-ibadah-yang-pasti-diterima-oleh-allah-swt-eT7xR

2 (HR Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i)

3 https://suaramuhammadiyah.id/2021/03/19/nabi-muhammad-saw-19-hijrah-ke-thaif/

4 Syarah Al Hikam

5 https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perang-khandaq-kecerdikan-nu-aim-bin-mas-ud-dan-kepastian-janji-allah-0QUjn

6 “Para nabi atau rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan misi mereka disebabkan terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman”. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA dalam bukunya Membumikan Al Quran (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 39.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *