Hal kesembilan: Ketergelinciran dari Itikad Mulia

Wahai tuhanku, wahai tuanku. Jika esok hari Engkau menetapkanku mendapat siksa, maka janganlah Engkau memberi tahu mereka tentang siksaku, demi menjaga kemuliaanMu, bukan karena diriku. Supaya mereka tidak berkata ”Allah menyiksa orang yang menunjukkan jalan kepadaNya”. Wahai tuhanku, berkat kemuliaanMu, peliharalah keyakinan mereka terhadapku dengan memberitahukan mereka akan mungkinnya siksaan bagi orang yang menunjukkan jalan kepadaMu

Ibnu Jauzy dalam Shaidul Khatir

Barangkali judul kesembilan ini akan menjadi tulisan yang singkat, karena hanya sebagai sedikit tambahan saja dari judul sebelumnya (baca:Istiqomah) berkaitan dengan ujian bagi seorang yang berkedudukan tajrid, ujian yang sifatnya lebih khusus.

Sebelum itu tentu harus disepakati bersama bahwa kedudukan seseorang adalah suatu kondisi batin yang tidak bisa diketahui oleh mata awam kita, sehingga sangat tidak layak bagi kita yang hanya melihat kejadian lahir orang lain kemudian menyebutnya tergelincir dari itikad mulia. Dan tulisan ini hanya dimaksudkan untuk memperlebar sedikit sudut pandang kita terhadap istilah ketergelinciran dari itikad mulia dari sisi pemahaman penulis.

Mengingat kembali pesan Ibnu Athaillah dalam kitab Al Hikam, bahwa keinginan kita untuk asbab padahal Allah telah mengkukuhkan kita pada kududukan tajrid adalah termasuk  اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ, ketergelinciran dari itikad (himmah) mulia. Berbeda dengan yang sebaliknya (keinginan untuk tajrid padahal ditempatkan pada kedudukan asbab yang disebut merupakan kedirian/egoisme yang samar), ketergelinciran dari itikad mulia terasa cukup ironis sehingga saya buat menjadi satu judul sendiri1. Karena kondisi tersebut kurang lebih akan menimbulkan pertanyaan “bagaimana mungkin seorang yang telah dimudahkan jalannya untuk mengingat Allah malah berpaling pada hal selainnya?”.

Meskipun dikatakan bahwa keinginan untuk asbab adalah sebuah ketergelinciran, bukan berarti kedudukan asbab berada lebih rendah dari kedudukan tajrid. Disebut dengan ketergelinciran lebih karena kondisi tersebut mengindikasikan bahwa hati mulai condong pada dunia. Sedangkan yang sebaliknya disebut kedirian yang samar karena apa yang diperbuat memiliki maksud terselubung berupa diberi sebuah kedudukan yang diinginkan, padahal baik asbab maupun tajrid seharusnya keduanya ditegakkan dengan niat lillahitaala.

Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam

Nikmat dunia telah menjadi ujian alami bagi seorang mukmin, dan tentu semakin tinggi tingkat kealiman seseorang, maka semakin samar juga cara ujian itu datang. Kita ambil contoh seorang pendakwah misalnya, di tingkat awal bisa saja kita melihat ujian yang dihadapi hanyalah berupa pesangon yang didapat ketika berceramah atau saat mengisi majlis ilmu, sehingga tiap kali berdakwah muncul risiko membawa rasa “arep-arep” yang berakibat pada percampuradukan (tasyrik) dalam niatnya. Namun bisa jadi, pada tingkatan selanjutnya ujian yang mengarah pada ketergelinciran dari himmah mulia datang dengan cukup samar dan kadang  dibalut oleh niat baik, atau bahkan tidak akan terlihat sebagai ujian bagi seorang awam.

Seperti misalnya niatan agar dakwahnya diterima oleh masyarakat, seorang dai berprinsip untuk membaur dengan masyarakatnya perihal sesuatu yang disenangi oleh mereka (hal-hal yang mubah), karena seorang yang disenangi akan lebih didengar dan mudah mengajak pada kebaikan. Apabila tidak menjaga niatnya, yang terjadi hanyalah “membaur dan berusaha disenangi orang banyak”. Karena pada prinsipnya, banyak melakukan hal yang mubah (duniawi) akan menggelapkan hati2, sehingga kita menjadi lupa akan hakikat. Dalam itikad mulia untuk menyampaikan hukum-hukumnya Allah, dihatinya malah muncul rasa sedih karena masih belum bisa memikat hati banyak orang.

Bagi kita barangkali hal tersebut bukan masalah yang besar, namun bagi pribadi seorang yang berkedudukan tajrid itu menjadi awal dari ketergelinciran atau bahkan ketergelinciran itu sendiri. Seorang yang berujar “ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi” hatinya mulai sibuk mencari perhatian umat. Padahal sejak awal tetap; hidayah, ilmu, pemahaman berada di sisi Allah. Menyampaikan kebenaran serta saling memberi nasihat tentang kebaikan adalah sebagai bentuk ibadah kepadaNya (1), sementara berusaha disenangi agar ajarannya diterima adalah kududukan asbab untuk berhasil (2). Jadi dikatakan tergelincir adalah ketika kecenderungan hatinya bergeser dari kalimat pertama-ibadah (1), ke kalimat kedua-usaha disenangi(2).

Andai hidayah itu seperti buah yang bisa kubeli, maka akan kubeli berkeranjang-keranjang untuk aku bagikan pada orang yang aku cintai

Imam Syafii

Contoh lain yang lebih sederhana menggambarkan bagaimana nikmat dunia membawa ketergelinciran dari itikad mulia adalah kondisi begini: Ada seorang PNS (anggap saja seorang ahli tajrid) yang sibuk bekerja, mengabdi melayani masyarakat dengan ikhlas lillahitaala meskipun mendapat gaji yang sama dengan rekannya yang hanya bekerja seadanya. Kemudian suatu hari nikmat dunia datang, cair sejumlah insentif dengan nominal yang besar dari kantor, dan ternyata nilainya berbeda-beda tiap pegawai bergantung pada penilaian formil kinerjanya oleh atasannya.

Ketika seorang yang ikhlas ini tahu besaran insentif temannya yang hanya bekerja seadanya justru jauh lebih besar darinya, hatinya mulai bertanya kenapa. Seorang yang awalnya tidak mempermasalahkan nikmat gaji dan ikhlas melayani, keikhlasannya malah gentar ketika ada nikmat dunia datang sebagai ujian. Padahal sejak awal variable insentif tidak pernah ada dalam perhitungannya dalam bekerja ikhlas, sekali lagi saya ulangi; padahal sejak awal variable insentif ini tidak pernah ada dalam perhitungannya dalam bekerja ikhlas. Namun ketika dia mendapat nikmat dunia, justru muncul pemikiran “harusnya saya bisa lebih besar”.

Sebelum adanya bonus dia ikhlas melayani, namun setelah menerima sesuatu yang bahkan di awal tidak dinantikan, keikhlasannya malah memudar-karena harusnya ada peluang untuk mendapat lebih. Tergelincir dari predikat mukhlis (atau bahkan mukhlas) menjadi predikat seorang yang perhitungan, dengan ciri esensi asbab (sebab akibat) dimana yang bekerja lebih banyak, seharusnya mendapat bonus lebih besar.

Memang hal itu terdengar tidak adil, dan apabila menemui kondisi seperti ini kemudian kita merasa hal itu tidak selayaknya terjadi lagi, perasaan tersebut muncul karena kita berada pada kedudukan asbab dan memang perasaan itu bukanlah dosa, kedudukan kita memang di situ. Justru apabila kita yang berada pada kedudukan asbab memaksa “sok tajrid” (diam saja dan tidak bertindak korektif), itu termasuk kedirian/nafsu yang samar. Sama seperti seorang yang baru ikut belajar tasawuf kemudian karena “ingin wali”, tiba-tiba bertindak ekstrim-setiap gajian seluruh gajinya diserahkan pada anak yatim misalnya, orang yang seperti ini bisa jadi amalnya terdorong oleh nafsu yang samar, bukan murni mencari ridho Allah tapi mengejar kedudukan “keren”nya para wali Allah.

Namun dari contoh PNS di atas perlu kita ingat bahwa perasaan didzalimi, sedih, melirik nikmatnya orang lain, hal seperti itu yang bisa membawa kepada keraguan terhadap takdir Allah. Dan kepada Allah kita berlindung dari hal yang demikian.

Katakanlah Muhammad, “dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira

Khusus untuk mengenali kebenaran sejati itu tidak ada masalah sosial, kebenaran itu absolut

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim

Hal lain lagi yang bisa saya sampaikan dalam satu judul ini adalah kisah setalah terjadinya perang hunain yang dimenangkan oleh kaum muslimin. Sahabat anshar sedikit mempertanyakan sikap rasulullah mengenai harta rampasan perang yang dibagi-bagikan kepada para muallaf. Orang-orang yang baru memeluk islam atau dalam kata lain kontribusinya untuk agama ini belum ada, malah diberi bagian yang lebih banyak seperti kambing, unta, pakaian perang dsb.

Setelah sikap mempertanyakannya para sahabat itu sampai pada rasulullah, di sini jawaban beliau kepada para sahabat terdengar unik, menunjukkan pada kita bagaimana itu logika nubuwwah, “wahai kaum anshar, apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa dunia (riwayat lain bahkan menyebutkan kata dunia diganti dengan kambing dan unta, jadi-membawa kambing dan unta) sementara kalian pulang membawa serta nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah-rumah kalian?”3 . Di mana jawaban tersebut lantas membawa haru bagi kaum anshar, mereka tersadar serta bersyukur bahwa ketika yang lain hanya pulang bersama kambing dan unta, mereka adalah orang-orang yang hidup bersama rasulullah dan berjuang bersama beliau. Bagaimana bisa membandingkan nikmat dunia dengan kemuliaan yang luar biasa istimewa?- ketika Allah takdirkan mereka untuk menolong nabi dan kaum muhajirin.

Di sisi lain kita juga bisa melihat bagaimana rasulullah menjaga kedudukan para sahabat anshar agar kokoh pada kududukan sebagai orang yang menolong (anshar)-berjuang bersama rasulullah-memperjuangkan agama, sehingga tidak berpindah (tergelincir) pada kedudukan orang yang menerima, atau mengharap diberi oleh agama. Sebagai seorang yang berkedudukan asbab tentu kita berpikir bahwa yang berkontribusi lebih pada agama akan mendapat imbalan lebih dari agama ini, mungkin tidak salah, namun nyatanya bukan begitu logika nubuwwah.

Wallahu alam bishowab.

jika tangan di atas masih lebih baik dari pada tangan dibawah, maka dimana posisi kita jika setelah memberi malah mengharap imbalan

Dan mereka (kaum Anshar) tidak menaruh keinginan dalam hatinya terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka, mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun sedang dalam kesusahan


1Pembahasan tentang tajrid dan asbab telah disampaikan pada Hal kedelapan: Istiqomah.

2Ibnu Jauzy dalam Shaidul Khatir, “terlalu banyak melakukan hal yang mubah dapat menggelapkan hati”, ketika menggambarkan betapa rusak hati seorang yang terbiasa dengan hal-hal haram. (Namun tentu kita tahu sebagian ulama juga berpendapat bahwa hal-hal mubah bagi seorang awam justru bisa menjadi sarana untuk menghindari perilaku maksiat)

3 HR. Al-Bukhâri, al-Fath, 16/170. no. hadits 4331 dan Imam Muslim, 2/736, no. 1059 Referensi : https://almanhaj.or.id/6251-pembagian-ghanimah-perang-hunain.html#_ftn2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *