Hal keenam: Cinta

Adalah hal yang saya pelajari betul dan saya rasakan sendiri sebagai ilmu; bahwa mencintai adalah anugrah, kodrat seorang pecinta adalah memberi. Orang yang jatuh cinta maka hatinya menjadi lembut. Cinta adalah isyarat keindahan dari tuhan yang paling jelas. Dengan jatuh cinta pada manusia, maka hati mendapatkan ilmu yang tidak bisa dijelaskan melalui kata2. Tentang bagaimana nikmat melihat keindahan, bagaimana sejuknya hati melihat yang indah itu. Diiringi dengan keimanan, maka orang berakal tentu mengatakan “keindahan ini adalah ciptaan, lalu seberapa kadar keindahan sang pencipta keindahan?, seberapa besar kadar kenikmatan memandang sang pencipta kenikmatan?”.

Cinta adalah hal yang paling sering saya tulis dan selalu ingin saya sebarkan. Namun masih terasa sulit bagi saya untuk merasa nyaman membaca tulisan-tulisan atau buku tentang roman. Banyak pandangan saya tentang cinta, justru dipengaruhi cara pandang filsafat, dan kemudian hal itu membawa saya pada tulisan-tulisan sufistiknya Jaluddin Rumi, Hakim Sanai, Rabiah Al Adawiyah, dan hikmah-hikmah tasawuf dalam Al Hikamnya Ibnu Athailah, atau kutipan-kutipan Abu Hasan Asy Syadzili dan ulama lainnya. Bagaimana saya menemukan “konsep cinta” yang luar biasa dari cara pandangnya para arif, dari cinta yang paling tinggi, melalui jalur ridha dan syukur. Cinta kepada Allah dan mencari ridhaNya adalah hal yang paling masuk di akal saya. Setelahnya, saya melihat bahwa kisah cinta, selain cinta kepada Allah, atau cinta yang tidak membawa kepadaNya, menjadi hal yang tidak menarik untuk diikuti dan dibahas.

Penjelasan tentang cinta, bukanlah cinta

Imam Al Qusyairi

Tidaklah seorang bisa mencintai sesuatu melainkan karena ilmu, karena mengenal. Tidak terbayang oleh kita bagaimana seorang mencintai sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Minimal mengetahui wajahnya, sifatnya atau bahkan hanya namanya. Dan semakin besar ilmu tentang apa yang dia cintai, semakin valid juga kecintaan itu.

Cinta adalah ruh kehidupan. Tanpa mencintai, berarti sudah berakhir hidup seseorang. Cinta jauh dari nafsu, dia tidak ingin memiliki, dia hanya ingin memberi kebaikan2. Maka tak heran jika qois berkata pada layla “cinta bukanlah harapan atau ratapan, meski tiada harapan aku akan tetap mencinta”.

Bagi penulis, cinta pada sesuatu yg salah itu tidak ada. Karena kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa atau pada apa. Yang ada hanyalah salah cara dalam mencintai, sehingga memunculkan kerusakan. Cinta selalu baik, jika ada cinta yg tidak membawa pada kebaikan barangkali ada yg salah dg pemahamannya. Lalu jika ada seseorang yg mencintai kegiatan yg buruk, seperti zina, mabuk, judi, dsb. Apakah itu baik?, yg perlu diketahui, seseorang yang berzina, mabuk, judi, mencuri, sejatinya tidak mencintai wujud kegiatan itu. Barangkali dia sebenarnya mencintai dirinya sendiri, hanya saja ingin memberi nikmat pada diri ini dengan cara yg salah. Cinta jauh dari nafsu, cinta tidak ingin memiliki, dia hanya ingin memberi kebaikan2. Hanya saja penamaan kebaikan itu lah yang harus dituntun/diluruskan dengan ilmu (sebagai cahaya).

Perasaan mungkin sulit, atau tidak bisa ditularkan lewat penjelasan2, lewat deskripsi atau syair2. Seseorang harus merasakan sendiri, barulah dia paham. Pengetahuan tentang keindahan tuhan atau surga mungkin sudah diajarkan dan sudah diketahui. Namun kita perlu contoh, butuh refleksi perasaan itu sehingga pengetahuan itu menjadi lebih sempurna. Saya tau bahwa tuhan itu maha indah, namun jika saya hanya mendapat pengetahuan itu dari penjelasan2 saja, tentu rasa kagum saya tidak se sempurna ketika saya memang sadar, ketika saya paham, dan saya merasakan sendiri apa indah itu, bagaimana indah itu, betapa nikmat melihat yg indah itu.

Misal: Dinda, adalah salah satu cara tuhan mengabarkan pada saya tentang betapa indahnya Dia. Penciptanya adalah tuhan yg sama dg yang menciptakan surga, dan saya sempat berpikir bahwa mengapa tuhan tidak menjadikan Dinda saja sebagai imbalan manusia untuk beramal saleh? Padahal seindah itu lo dia. Itu berati nikmat yg saya rasakan ketika melihat indahnya Dinda ini belum ada apa2nya dibandingkan dg indah yg Tuhan janjikan.  Betapa indahnya Dia, pencipta keindahan. Dan saya sampaikan lagi, bahwa jika wajah tuhan adalah yang paling indah-dan memang demikian, dan Dinda saja sudah membuat saya terbuai, tak terbayang betapa nikmat rasanya melihat wajah pencipta keindahan-yang juga pencipta kenikmatan.

Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan pemberhalaan dalam keterbatasan pemikiran

Atau bukan Dinda, ambil saja Jisoo Blackpink misalnya. Sebagian orang mengatakan cinta pada idol K-pop adalah kesesatan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Kemudian kita melihat kenyataan bahwa Jisoo ini sebagai seorang yg jauh dari tuhan, tidak sholat, mengumbar aurat dan tidak layak untuk menjadi panutan dan idola, pandangan itu tidak salah (bagi seorang muslim). Namun barangkali kita yang salah posisi, mengapa kita tidak melihat Jisoo-dengan sisi diri kita yg lain, kita yang esensial-sebagai hamba Allah. Sehingga tidak ada lagi benci, yg ada hanyalah cinta. Dalam hal ini, kebencian kita tidak akan mengubah apa2, sementara cinta menyempurnakan pujian kita kepadaNya.

NAMUN, argumen tersebut bukanlah pembenaran untuk melihat sesuatu yang tidak pantas sebagai isyarat pujian kepada Tuhan. Tetap, keimanan itu telanjang, dan pakainnya adalah taqwa!. Bagaimana kita mengaku waras tapi tidak berpakaian?.

He intorduced himself to us out of kindness; how else could we have known him? Reason took us as far as the door, but it was his presence that let us in

Hakim Sanai

Dan dapat penulis sampaikan bahwa cinta kepada manusia adalah pintu awal menuju cinta kepada Allah (seperti pernyataannya Ibnu Arabi). Namun selayaknya pintu, makna keberadaannya adalah dua : sebagai jalan, atau sebagai penghalang. Apabila kita berhenti maka manusia (pintu) hanyalah penghalang, namun dengan ilmu dan keimanan sebagai cahaya, dan hati yang bersih sebagai cermin yang mampu memantulkan keindahan kekasih. Maka seorang tersebut tidak akan berhenti dan hanya mengagumi pintu gerbang tersebut, karena di hatinya sudah terpantul keindahan kekasih sejati yang diharap-harapkan berada di baliknya.

Sebagai ruh kehidupan, tentu setiap orang yang hidup pasti mencintai, minimal mencintai dirinya sendiri dengan dibuktikan oleh makan dan minum untuk menjaga eksistensi dirinya, serta mencintai apapun yang bisa memberi kenikmatan pada dirinya baik lahir maupun batin. Dan sebagian perkataan para sufi, bahwa cinta yang paling hakiki adalah cinta Allah kepada makhluknya, karena cinta Allah kepada makhluknya tidak mungkin membawa modus tertentu. Berbeda dengan makhluk yang mencintai adalah demi dirinya sendiri. Tidak bisa kita mengatakan seseorang mencintai sesuatu demi orang lain, pasti demi dirinya sendiri. Seorang lelaki mencintai wanita cantik adalah karena memberikan kenikmatan pada matanya, atau hatinya menjadi sejuk ketika bersamanya, bahkan seorang ibu pun mencintai anakanya karena itu adalah anak”nya”-bukan karena diri anak itu sendiri. Begitupun ketika kita mengaku mencintai Allah dan Rosulnya, adalah demi diri kita sendiri.1

Maka Tuhan adalah cinta yang hakiki, Dia lah yang mencintai dengan sempurna, dan karenaNya lah kita mencintai dan dicintai. Sungguh beruntung orang yang hatinya diberi cahaya untuk melihat keindahan tuhan dan jatuh cinta padaNya.

Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepadaKu, niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta perlindungan kepadaKu, niscaya akan Aku lindungi

Mudah seorang mengatakan “aku mencintaimu karena Allah”, namun bagaimana mencintai karena Allah tanpa keberserahan diri pada kehendakNya?. Mencintai karena Allah hanya layak dikatakan oleh seorang yang berserah sepenuhnya kepada Allah, ridha dengan segala ketetapanNya. Menyerahkan hati dan hanya menghadapkan wajah kepada dzat yang satu. Tentu hal tersebut hanya dicapai dengan pembersihan hati seperti yang disampaikan pada pembahasan tentang hati sebelumnya. Oleh seorang yang bersih hatinya dan menerima cahaya kemudian memantulkannya, oleh orang yang bersih hatinya sehingga yang tersisa hanyalah fitrah Allah pada dirinya.  Sehingga bersamaNya dia mendengar, bersamaNya dia melihat, bersamaNya dia menyentuh, dan bersamaNya dia berjalan, sehingga karenaNya dia mencintai.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu

Cukup Engkau ya Allah, Engkaulah tujuanku dan ridhoMu lah yang kucari

Wallahu a’lam bi shawab.


1 Pernyataan pada paragraf ini saya pahami dari terjemahnya buku Rindu Tiada Akhir oleh Imam Al Ghazali, penerbit Serambi Ilmu Semesta. Bisa saja maksud yang saya tangkap meleset, tapi saya tetap yakin dengan argumen yang saya sampaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *