Berdoalah kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan
Allah maha mengabulkan segala doa
Allah maha menepati janji
Berkeinginan erat kaitannya dengan pembahasan tentang cinta. Keduanya adalah tentang kecondongan hati terhadap sesuatu yang dilihatnya. Baik menggunkan pandangan yang arif maupun pandangan yang lalai. Dan sudah menjadi kodrat manusia bahwa Allah jadikan kita memiliki keinginan sebagai nikmat, sebagai penggerak, dan sebab berbagai kondisi hati; seperti berharap, takut, cemas, optimis, sedih dan lain sebagainya. Menginginkan sesuatu yang diridhai Tuhan adalah sebuah kemudahan yang dianugrahkan kepada kita, sedangkan menginginkan sesuatu yang hina dan dimurkai Tuhan kemudian diberi kekuatan untuk menjauhinya adalah sebuah kemuliaan yang dianugrahkan kepada kita.
Sebaik-baik yang kita inginkan adalah apa yang Allah ingin dari hambaNya
Dengan rasa ingin maka seseorang yang beriman akan tergerak menghadapkan wajah untuk berdoa meminta kepada Tuhannya. Dengan menginginkan sesuatu maka rasa “butuh” akan hadir dalam kalimat-kalimat permohonan yang dipanjatkan, sehingga kita benar-benar menghadirkan hati di sana. Berkeinginan adalah ujian keimanan terhadap qodho dan qodar. Dan dalam Shaidul Khatirnya Imam Ibnu Jauzy, beliau menyampaikan pesan bahwa ujian tetap datang saat kita bersabar maupun tidak dalam menjalaninya, begitu juga ujian tetap pergi baik kita bersabar maupun tidak dalam menjalaninya. Maka sabar adalah wajib, dan ridha adalah maqom tertinggi. Ridha atau rela terhadap keputusan Allah, terlebih pada apa yang tidak kita inginkan merupakan kedudukan para kekasihNya.
Kembali saya sampaikan bahwa memiliki keinginan adalah kodrat manusia, dan sebaik-baik orang yang ingin adalah mereka yang berdoa, sebaik-baik orang yang berdoa adalah orang yang ridha terhadap pengabulannya. Sungguh Allah maha mengabulkan doa sesuai dengan kehendakNya, bukan sesuai dengan keinginan kita-dan sebaiknya memang begitu. Tidak bisa kita bayangkan bahwa jaminan pengabulan doa yang Allah janjikan itu disesuaikan dengan keinginan makhluk. Karena jika demikian, maka betapa berat beban ilmu yang harus kita tanggung sebelum memulai untuk berdoa? Betapa ribet kita harus merencanakan dahulu sebelum kita mulai untuk berkeinginan. Hingga perlu memperhitungkan dampaknya baik yang langsung terlihat maupun dampak ganda (multiplier effect) yang mungkin terjadi dan tidak terbatas jumlahnya, serta menimbang variabel-variabel lain yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam hidup. Tidak terbayang oleh kita jika dunia ini diatur oleh keinginan-keinginan yang bersumber dari pengetahuan yang tidak utuh. Dan saya sadari, bahwa tidak pernah sekalipun-dari sekian keinginan yang pernah saya panjatkan dalam doa kemudian tidak terjadi-itu menjadi masalah besar dan penyesalannya itu berlarut-larut. Justru sebaliknya banyak keinginan yang tidak terjadi itu malah saya syukuri, atau malahan beberapa kali ada doa-doa yang saya revisi di tengah jalan.
Tidak pernah aku berdoa kepadaMu, waha Tuhanku, kemudian kecewa
Selain dengan alasan di atas, dari sudut pandang tasawuf pun-dalam syarah Hikam oleh Syeikh Ahmad Dzarruq-disampaikan bahwa termasuk keberkahan dari jaminan pengabulan doa yang tidak disandarkan kepada keinginan makhluk-karena tiga hal; Yang pertama adalah cinta Allah kepada kita sehingga ketetapanNya selalu merupakan segala sesuatu yang kebaikannya itu berada di sisiNya (dipilihkan dengan pengetahuanNya, dengan kasih sayangNya, dengan kebijaksanaNya). Kedua adalah karena hakikat doa itu sendiri yang merupakan perbuatan/amal untuk menunjukkan pengakuan bahwa kita adalah hamba yang sedang menghadap kepada Tuhan yang maha berkuasa atas segala sesuatu, lantas bagaimana seorang hamba mengatur Tuhannya?. Dan yang ketiga adalah demi menjaga hakikat Ubudiah (penghambaan), sehingga kita benar-benar merasa fakir, butuh, dan hina dihadapan Allah1.
Bagaimana mungkin Allah yang sudah mentaqdir kita untuk berdoa, malah tidak menghendaki pengabulannya
Apabila kita adalah seorang yang memiliki banyak dosa, hal tersebut lantas jangan menjadikan kita berhenti berdoa ketika memilki keinginan terhadap sesuatu. Boleh jadi maksiat menghalangi keterkabulan doa (yang sesuai dengan keinginan kita), adalah karena Allah menjadikan pengabulannya sebagai ampunan bagi kita di akhirat kelak. Merasa butuh kepada Allah adalah kebenaran dan kebaikan yang mutlak sehingga tidak bergantung siapa subjek yang melakukannya. Baik seorang ahli maksiat sampai mereka yang paling khusyu dalam sholatnya, berdoa-sebagai bentuk ubudiyah-adalah baik. Teruslah berdoa meski itu dengan keinginanmu yang bersumber pada kebodohan, Allah dengan rahmatNya akan mengabulkannya satu persatu sesuai dengan prioritas kebutuhan yang seharusnya kau minta.
Aku sesuai prasangka hambaKu, Aku bersamanya ketika ia mengingatKu
Dan apabila prinsip berdoa sudah menjadi bentuk pengakuan-untuk memperlihatkan bahwa kita adalah hamba yang membutuhkan pertolongan tuhannya, maka sudah menjadi adab dalam berdoa untuk mengawalinya dengan pujian kepada Allah. Hal tersebut adalah untuk menegaskan pada hati yang sedang menghadap ini siapa dzat yang sedang dihadapnya dan siapa yang sedang menghadap, sehingga diri mengingat kedudukannya yang lemah disamping luasanya rahmat Tuhan yang maha pengasih. Berikutnya adalah bersholawat kepada Nabi, mengharapkan kebaikan untuknya, karena adab mengharuskan kita untuk menginginkan sesuatu yang lebih utama dibanding yang lain setelahnya. Bagaimana mungkin seorang yang beriman mendahulukan keinginannya yang egois dibanding mengharapkan keselamatan manusia yang paling dicintai penduduk bumi dan langit. Kodrat seorang pecinta adalah memberi, maka sebagai bukti kecintaan kita kepada nabi adalah bersholawat kepadanya, karena apalagi yang bisa kita berikan-meskipun kenyataanya beliau tidak membutuhkan doa kita, alih2 justru kita lah yang membutuhkan syafaatnya. Setelah bersholawat, sudah seharusnya permohonan kita yang pertama adalah ampunan atas dosa-dosa kita, karena hanya kepada Allah lah kita memohon, dan Dia lah yang maha suci-sementara kita seorang yang dzalim. Dimana adab kita apabila meminta dan menghadap kepada yang maha suci dalam keadaan kotor, menyebut nama Allah yang maha agung dan maha tinggi dengan mulut yang sering digunakan untuk berdusta. Maka mohonlah ampunan-sungguh Tuhanku adalah dzat yang maha pengasih maha mensyukuri. Setelahnya kita memohon kebaikan untuk orang tua dan guru-guru kita, terlebih mereka yang telah Allah jadikan perantara untuk kita menerima nikmat sehingga menjadi seorang mukmin yang tergerak untuk berdoa kepada Allah.
Begitulah adab dalam berdoa menurut pribadi penulis. Dengan memuji Allah dan terus mensifatiNya dalam doa kita, bisa jadi keinginan-keinginan kita yang digerakkan oleh nafsu akan hilang, dan malah mencukupkan diri dengan apa-apa yang Allah inginkan dari kita. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang, maha pemurah, maha mengetahui, maha mencintai, maha adil, maha bijaksana, maha menetapkan, maha berdiri sendiri, dan berkuasa atas segala sesuatu-penulis menyadari bahwa sulit menghadap kepada Allah kemudian meminta, sementara Allah sudah menghendaki kebaikan untuk kita bahkan sebelum kita menginginkannya.
Wallahu alam bishwoab.
1Apa yang disampaikan oleh Syeikh Ahmad Zarruq dapat kita ditemukan di terjemahan Hikam Ibnu Athaillah:Syarh al Arif billah Syaikh Zarruq yang ditahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, diterjemhakan Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi, (Cetakan I Penerbit Qalam).