Pada hari yang harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih
Wahai dzat yang membolak–balikkan hati, teguhkanlah hatiku ini pada agama Mu
Hati itu hanya satu, jika kau isi dengan suatu hal, maka hal yang lain akan pergi meninggalkan
Kedudukan hati adalah raja dan segala sesuatu selainnya yang ada pada kita merupakan pasukannya. Sehingga sebagai seorang muslim, termasuk kewajiban bagi kita adalah mempelajari masalah-masalah/penyakit yang bisa diderita hati. Agar kerajaan kita tidak diserang, jatuh, dan terjangkit oleh biang-biang kehancuran seperti sifat tamak, dengki, ujub, riya, sombong dan segala macam wabah lainnya. Serta menaklukkan mereka yang dapat menguasai dan mengambil alih kekuasaan hati seperti nafsu, dunia, dan manusia.
Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama hati
Bagaimana kita membahas hakikat hati secara utuh, sementara hati merupakan sesuatu yang lembut dan menjadi rahasia Allah bersama dengan akal, jiwa, dan ruh. Banyak tulisan, perkataan para alim yang membahas tentang hati, khususnya dalam kitab-kitab tasawuf, seperti karya-karyanya syaikh Abdul Qodir Al Jailani, imam Junaid, imam Abu Hasan asy Syadzili, imam Al Ghazali, imam Ibnu Jauzy, imam Al Qusyairi, dsb. Dan ketika kita ingin merangkum kemudian disampaikan, tentu rasanya malah menjadi sama saja dengan menulis ulang perkataan-perkataan atau tulisan mereka dalam memaknai hati, atau bahkan memang tidak ada cukup waktu untuk itu. Sebuah pembahasan yang rumit, runtut, panjang dan harus lengkap.
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”
Imam Al Ghazali dalam ihya’nya menyampaikan bahwa kita dapat memaknai hati dengan 2 makna, yang pertama adalah yang mewujud dan bisa kita lihat (jantung), dan yang kedua adalah sebagai lathifah rabbaniah ilahiah-yang menjadi pembeda antara kita dengan binatang-yang menjangkau apa yang tidak dijangkau oleh indra1. Dalam makna yang kedua ini lah hati memiliki keududukan yang sejajar dengan ruh, akal, dan jiwa. Dan kedudukan tersebut yang kemudian sering disinggung dalam al quran dan banyak hadits serta perkataan ulama. Sehingga dalam makna hati sebagai lathifah juga lah kita memahami kalimat; hati yang bersih, hati yang keras, hati yang mati, hati yang buta, dan lain sebagainya. Dan hubungan makna yang satu dengan makna yang kedua merupakan hal rumit yang menjadi rahasia Allah.
sesungguhnya seorang hamba, ketika berbuat dosa, ada titik hitam di hatinya. Ketika dia meninggalkan dosanya, memohon ampun, dan bertobat, hatinya kembali bersih. Dan jika dia kembali (berbuat dosa), titik hitam terus bertambah di hatinya sampai menggunung, dan itulah yang menyelubungi hati (dari cahaya)
Sama sekali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka
Banyak yang mengajarkan bahwa hati kita ibarat cermin, yang apabila bersih maka bisa memantulkan cahaya, begitupun sebaliknya. Cahaya yang terpantul sesuai dengan lebar bidang yang bersih tersebut. Hati akan menerima cahaya dan merefleksikan apa saja yang ada dihadapannya secara jujur. Dosa akan memunculkan noda hitam di sana, sedangkan kelalaian akan membiarkan jamur dan karat tumbuh merusak pantulan kebenaran tersebut. Dengan hati yang bersih dan terawat manusia akan melihat segalanya secara jujur apa adanya. Melihat yang baik memang baik dan yang buruk memang buruk. Melihat dunia, harta, dan umur sebagaimana adanya, melihat diri sendiri dan orang lain sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga bisa menyebutkan “nama-nama benda” sebagaimana yang diajarkan oleh Allah kepada Adam secara benar.
Jika kalian tidak berbuat dosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub
Dengan hati yang jujur, maka manusia akan mudah menerima kebenaran bahkan yang semua orang tidak memahaminya/tidak relate dengan kebenaran tersebut. Seperti bagaimana dunia ini layaknya nenek tua yang bersolek, bagaimana sujud kepada Allah lebih nikmat daripada bermain-main dan bercanda gurau, mendapatkan ilmu dan hikmah lebih melegakan daripada mendapat uang yang banyak. Bagaimana nikmatnya berkumpul bersama orang-orang saleh, bagaimana senangnya seseorang yang melihat orang-orang yang dicintainya berada di jalan Allah, bagaimana seorang yang menunjukkan aib kita adalah orang yang menyelamatkan kita. Dan lain sebagainya.
Dengan cermin yang bersih, maka terpantul cahaya keindahan Tuhan dihatinya. Meski tidak sempurna karena keterbatasannya, itu sudah cukup untuk membuat hamba tidak lagi berpaling kepada yang lain. Dengan cermin yang bersih, kita dapat menjadi hamba yang ridho dengan segala ketetapan Tuhan, melihat segalanya sebagai mawar pemberian kekasih. Tidak penting apa yang diberi itu, karena pandangan tidak lagi berpaling dari wajah pemberinya.
Hingga dia melihat bahwa segala yang terjadi tidak pernah penting, karena yang datang kemudian tidak akan merubah yang awal. Dimanapun dia berada dan apapun yang terjadi, hatinya tetap tenang. Karena Tuhannya (yang keindahannya terpantul di cermin hatinya) adalah dzat yang tetap, sampai kapanpun, sebagai dzat yang maha pengasih maha penyayang, maha adil, maha bijaksana.
Siapa yang dunia menjadi keinginan terbesar dihatinya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya. Dan Allah jadikan kefakiran diantara kedua matanya. Dan dunia tidak mendatanginya kecuali yang dituliskan saja untuknya. Dan siapa yang akhirat itu menjadi niat utamanya, Allah akan kumpulkan urusannya untuknya, dan Allah akan jadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan dunia itu hina di matanya
Apakah orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima kedamaian, lalu mendapat cahaya dari Tuhannya, sama dengan orang yang hatinya telah membatu?
Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, menerima cahaya yang terang-memantulkannya-sehingga menjadi seorang hamba dengan hati yang selamat.
Karena tidak ada yang lebih indah darimu, kuberikan saja cermin ini untukmu
1Diambil dari Intisari Kitab Ihya Ulumuddin, diringkas sendiri oleh Imam Al Ghazali, diterjemahkan oleh Junaidi Ismaiel, cetakan I 2016: penerbit Qalam.